Alkohol, Etanol, Khamr Halalkah?

Sampai saat ini masih banyak yang menanyakan masalah status kehalalan alkohol dan bingung dalam menetapkannya. Hal ini dapat terjadi akibat adanya suatu kekeliruan dalam mendefinisikan secara tepat apa yang dimaksud alkohol dan dalam mengambil suatu analogi antara fakta dengan hukum.
Banyak informasi yang beredar baik di buku maupun internet bahwa alkohol itu statusnya haram. Masalahnya, apa yang dimaksud dengan alkohol disini.

Dalam bahasa Inggris kata “alcohol” memiliki dua arti, arti yang pertama adalah minuman beralkohol atau minuman keras, sering disingkat dengan “alcohol” saja. Arti yang kedua “alcohol” adalah etanol, nama suatu bahan kimia yang dapat berfungsi sebagai pelarut organik. Dari segi ilmu kimia, alkohol artinya adalah golongan senyawa kimia yang memiliki gugus fungsional hidroksi (OH), dengan demikian ada banyak sekali senyawa kimia yang termasuk kedalam golongan alkohol dan etanol adalah salah satunya. Etanol sendiri adalah senyawa kimia yang memiliki rumus molekul C2H5OH.

Sekarang, jika dikatakan alkohol itu haram maka yang dimaksud alkohol disini apa atau yang mana dari beberapa arti alkohol yang dijelaskan diatas? Banyak yang berpendapat bahwa yang dimaksud dengan alkohol dalam hal ini adalah etanol, hal ini didasarkan atas fakta bahwa alkohol bersifat memabukkan dan kandungan minuman keras yang terbesar adalah etanol (selain air). Benarkah demikian? Mari kita kaji!

Yang pertama-tama harus diketahui adalah bahwa toksisitas (sifat racun) suatu senyawa kimia utamanya tergantung kepada jumlahnya. Sifat ini bervariasi antara satu bahan kimia dengan bahan kimia yang lain, ada yang dalam jumlah kecil saja dapat menyebabkan keracunan bahkan kematian, ada yang baru menimbulkan efek racun pada jumlah yang terkonsumsi yang relatif tinggi. Etanol memang bersifat narkosis (memabukkan), akan tetapi tentu saja tergantung pada berapa banyak yang dikonsumsi, jika hanya dikonsumsi sedikit saja, misal hanya 0.01 ml maka kemungkinan besar tidak menimbulkan efek apa-apa.

Di sisi lain, banyak komponen-komponen yang ada didalam minuman keras sebetulnya memiliki sifat memabukkan bahkan lebih toksik (beracun) dibandingkan dengan etanol. Sebagai contoh, metanol, propanol, isobutilalkohol dan asetaldehida terdapat didalam red wine dan senyawa-senyawa kimia tersebut bersifat memabukkan. Oleh karena itu, sifat memabukkannya suatu minuman keras bukan semata-mata disebabkan oleh etanol saja, akan tetapi merupakan pengaruh dari semua senyawa kimia yang ada didalam suatu minuman keras. Sehingga, tidak tepat jika yang diharamkan itu etanol, karena jika etanol haram mengapa senyawa senyawa kimia yang lain yang juga bersifat memabukkan seperti sudah disebutkan diatas tidak diharamkan? Logikanya, jika etanol haram maka semua senyawa kimia yang bersifat memabukkan juga haram.

Jika kita perhatikan ayat-ayat Al Qur’an dan hadis-hadis yang berkenaan dengan khamr maka sebetulnya yang dimaksudkan dengan khamr adalah segala sesuatu yang memabukkan, dalam banyak contoh adalah minuman yang memabukkan. Alkohol, pada zaman Rasulullah bahkan belum dikenal. Jika kita perhatikan lebih lanjut hukum halal haram ini berlaku bagi sesuatu yang dikonsumsi, sesuatu yang diminum atau dimakan atau dimasukkan kedalam tubuh, sedangkan terhadap sesuatu yang tidak dikonsumsi maka tidak dikenai hukum.

Sekarang mari kita lihat senyawa-senyawa kimia secara keseluruhan, apakah layak dikenai hukum halal haram, padahal kebanyakan dari senyawa-senyawa kimia ini tidak dikonsumsi. Ambil contoh yang sering dikenai hukum haram selama ini yaitu etanol. Pada kenyataannya etanol sebagai senyawa murni (etanol absolut) tidak pernah ada yang meminumnya karena dapat mengakibatkan kematian, demikian halnya dengan senyawa-senyawa kimia lain. Sehingga, seharusnya senyawa-senyawa kimia murni ini tidak dikenai hukum halal haram karena bukan sesuatu yang dikonsumsi.

Apabila etanol dianggap sama dengan khamr dan haram hukumnya maka dampaknya akan luas sekali dan akan menjadi kontradiksi dengan hukum kehalalan bahan pangan lain. Telah diketahui bahwa banyak bahan pangan mengandung etanol, baik terdapat secara alami (sudah ada didalam bahan pangan sejak dipanen dari pohon) seperti buah-buahan, atau terbentuk selama pengolahan seperti kecap, cuka dan roti. Akan tetapi, buah-buahan jelas halalnya. Kecap dan roti tidak menyebabkan mabuk. Cuka sepanjang tidak dibuat dari khamr maka hukumnya halal. Bukankah menjadi bertentangan jika etanol hukumnya haram? Mengapa walaupun etanol terdapat didalam buah-buahan, akan tetapi buah-buahan tersebut halal?

Dengan demikian maka yang keliru adalah penetapan hukum terhadap etanol itulah kelihatannya. Roti dan cuka halal, dalam hadis dijelaskan bahwa Rasulullah saw juga makan roti dan cuka, padahal cuka dan roti mengandung etanol. Sekali lagi, ini menunjukkan bahwa penetapan haram terhadap etanol itu keliru. Jika sesuatu sudah ditetapkan sebagai khamr maka banyak atau sedikit tetap haram, jadi alasan bahwa buah-buahan hanya mengandung sedikit etanol sehingga halal menjadi tidak tepat jika status etanolnya haram. Alasan bahwa etanol yang ada di buah-buahan alami sehingga halal itu juga tidak tepat jika etanol dipersamakan dengan hukum khamr karena kehalalan bukan didasarkan pada alami atau bukan, jika bahan tersebut adalah sesuatu yang dikonsumsi dan bersifat memabukkan maka statusnya haram apakah bahan tersebut alami atau buatan sama saja hukumnya.

Jika etanol haram maka etanol tidak boleh digunakan sama sekali karena begitulah hukum yang berlaku yang berkenaan dengan khamr dimana khamr tidak boleh dimanfaatkan sama sekali, tidak boleh juga dijual kepada Yahudi sekalipun, khamr harus dibuang. Sebagai contoh, etanol tidak boleh digunakan sebagai bahan untuk desinfektasi alat-alat kedokteran, tidak boleh digunakan dalam parfum, tidak boleh digunakan sebagai bahan untuk sanitasi alat-alat pengolahan pangan, sebagai pelarut, bahkan harus enyah dari laboratorium-laboratorium.

Apabila etanol diharamkan maka hal ini bukan hanya bertentangan dengan hal-hal yang sudah disebutkan diatas, juga bertentangan juga dengan penjelasan Rasulullah saw tentang jus buah-buahan dan pemeramannya seperti tercantum dalam hadis-hadis berikut ini (hadis-hadis ini tercantum dalam kitab Fiqih Sunnah tulisan Sayid Sabiq):

1. Minumlah itu (jus) selagi ia belum keras. Sahabat-sahabat bertanya: Berapa lama ia menjadi keras? Ia menjadi keras dalam tiga hari, jawab Nabi. (Hadis Ahmad diriwayatkan dari Abdullah bin Umar).

2. Bahwa Ibnu Abbas pernah membuat jus untuk Nabi saw. Nabi meminumnya pada hari itu, besok dan lusanya hingga sore hari ketiga. Setelah itu Nabi menyuruh khadam menumpahkan dan memusnahkannya. (Hadis Muslim berasal dari Abdullah bin Abas).

Karena buah-buahan secara alami mengandung etanol maka jus buah-buahan pun mengandung etanol. Jika jus ini diperam atau dibiarkan pada suhu kamar dan pada kondisi terbuka maka kadar etanolnya akan meningkat karena akan mengalami fermentasi alkohol spontan yaitu dengan tumbuhnya khamir (yeast) pada jus yang akan mengubah gula menjadi etanol dan senyawa-senyawa lain. Akan tetapi, kadar alkohol jus sampai pada pemeraman hari kedua belum sampai pada taraf yang dapat memabukkan, baru setelah diperam selama 3 hari jus tersebut telah bersifat memabukkan atau tidak layak diminum karena telah mengalami kerusakan.

Hadis ini menunjukkan bahwa pendapat yang mengatakan etanol haram keliru karena pada kasus pemeraman jus etanol kadarnya bahkan meningkat sampai batas tertentu, akan tetapi Rasulullah mengatakan jus yang disimpan sampai 2 hari masih boleh diminum, setelah diperam 3 hari barulah ia telah berubah menjadi khamr dan tidak boleh diminum lagi. Hadis ini juga menunjukkan bahwa peubahan sifat jus menjadi memabukkan itu ada waktunya, jika hal ini dikaitkan dengan kandungan etanol dalam jus maka berarti ada batas tertentu dimana kadar etanol dalam jus diperbolehkan dan ada batas dimana diatas batas itu jus sudah tidak diperbolehkan diminum lagi.

Majelis Ulama Indonesia telah lama mengkaji masalah alkohol (etanol) ini. Pada tahun 1993 MUI mengadakan muzakarah Nasional tentang alkohol dalam minuman dengan mempertemukan para ulama dan ilmuwan untuk membahas status kehalalan alkohol. Pada saat itu telah disepakati bahwa yang diharamkan adalah minuman beralkohol atau minuman keras, bukan alkohol (etanol)nya itu sendiri.

Akan tetapi, apabila sesuatu sudah masuk kedalam kategori minuman beralkohol (ada definisinya) maka berapapun kadar alkoholnya (etanolnya) tetap saja haram. Setelah muzakarah, ternyata diantara para ulama dan ilmuwan masih terdapat perbedaan pendapat, apakah hanya minuman beralkohol yang haram atau alkohol (etanol) juga haram. Oleh karena itu, MUI terus melakukan kajian sehingga pada bulan Agustus 2001, komisi fatwa MUI mampu memutuskan bahwa minuman keras adalah minuman yang mengandung alkohol (etanol) minimal satu persen.

Dengan adanya hasil ijtihad ini maka semakin kuatlah pendapat bahwa yang diharamkan itu bukan karena keberadaan etanol (alkohol) dalam bahan pangan semata, akan tetapi lebih kepada berapa kadarnya. Adanya batas 1% ini akan sangat memudahkan dalam penetapan status kehalalan minuman. Minuman yang mengandung alkohol (etanol) sebanyak 1% atau lebih maka masuk kedalam minuman keras dan masuk kedalam golongan khamr. Akan tetapi, minuman yang mengandung alkohol (etanol) dibawah 1% tidak otomatis halal karena untuk menetapkannya harus dilihat bahan-bahan yang digunakan dan cara pembuatannya.

Sebagai contoh, minuman Shandy mengandung etanol kurang dari 1%, akan tetapi minuman ini terbuat dari bir dimana bir masuk kedalam kategori minuman keras sehingga masuk kedalam golongan khamr. Dengan demikian, minuman Shandy yang dibuat dari bir jelas haram karena terbuat dari khamr yang diencerkan, sesuai dengan kaidah “jika banyaknya memabukkan maka sedikitnya pun haram”.

Alhamdulilah pada akhirnya MUI pada tahun 2009 telah mengeluarkan fatwa mengenai fatwa tentang hukum alkohol melalui fatwa MUI No. 11 tahun 2009, yang keputusannya disalinkan dibawah ini.

Ketentuan Umum:
Dalam fatwa ini yang dimaksud dengan:
1. Khamr adalah setiap minuman yang memabukkan, baik dari anggur atau lainnya, baik dimasak ataupun tidak.
2. Alkohol adalah istilah yang umum untuk senyawa organic apapun yang memiliki gugus fungsional yang disebut gugus hidroksil (-OH) yang terikat pada atom karbon. Rumus umum senyawa alcohol tersebut adalah R-OH atau Ar-OH dimana R adalah gugus alkil dan Ar adalah aril.
3. Minuman beralkohol adalah: a). minuman yang mengandung etanol dan senyawa lain diantaranya methanol, asetaldehida, dan etil asetat yang dibuat secara fermentasi dengan rekayasa dari berbagai jenis bahan baku nabati yang mengandung karbohidrat; atau b) minuman yang mengandung etanol dan/methanol yang ditambahkan secara sengaja.

Ketentuan Hukum:
1. Meminum minuman beralkohol sebagaimana dimaksud dalam ketentuan umum hukumnya haram.
2. Khamr sebagaimana dimaksud dalam ketentuan umum adalah najis.
3. Alkohol sebagaimana dimaksud dalam ketentuan umum yang berasal dari khamr adalah najis. Sedangkan alkohol yang tidak berasal dari khamr adalah tidak najis.
4. Minuman beralkohol adalah najis jika alkohol/etanolnya berasal dari khamr, dan minuman beralkohol adalah tidak najis jika alkohol/etanolnya berasal dari bukan khamr.
5. Penggunaan alkohol/etanol hasil industry khamr untuk produk makanan, minuman, kosmetika, dan obat-obatan, hukumnya haram.
6. Penggunaan alkohol/etanol hasil industry non-khamr (baik merupakan hasil sintesis kimiawi (dari petrokimia) ataupun hasil industri fermentasi non-khamr) untuk proses produksi produk makanan, minuman, kosmetika dan obat-obatan, hukumnya: mubah apabila secara medis tidak membahayakan.
7. Penggunaan alkohol/etanol hasil industri non-khamr (baik merupakan hasil sintesis kimiawi (dari petrokimia) ataupun hasil industri fermentasi non-khamr) untuk proses produksi produk makanan, minuman, kosmetika dan obat-obatan, hukumnya: haram apabila secara medis membahayakan.

 

Foto: onet.pl