Bolehkah Wanita Melakukan I’tikaf?

Memasuki 10 hari terakhir Ramadhan sepatutnya kita memperbanyak ibadah kepada Allah SWT seperti meningkatkan sholat malam, memperbanyak baca Qur’an, memperbanyak dzikir, meningkatkan shodaqoh, ataupun I’tikaf.

Sebenarnya apa yang dimaksud dengan I’tikaf? Menurut Bahasa I’tikaf berarti tinggal dan mengurung diri di suatu tempat, menurut syara’ I’tikaf artinya tinggal di dalam masjid untuk beribadat dengan niat dan cara yang telah ditentukan.

Landasan perintah I’tikaf ini adalah seperti yang tersebut dalam Al-Quran, Al-Baqarah 125.

Serta hadist,

Dari Aishah RA, ia berkata: Rasulullah SAW melakukan I’tikaf pada sepuluh malam terakhir di bulan Ramadan, sampai saat ia dipanggil Allah Azza wa Jalla. (Mutafaq ‘alaih).

Untuk sahnya I’tikaf yaitu bila memenuhi syarat i’tikaf dilakukan di masjid yang biasa digunakan untuk sholat jama’ah, beragama Islam, tamyiz atau bukan dilakukan oleh orang gila atau anak kecil, suci dari jinabat, haid, dan nifas. Dalam madzhab Maliki menambahkan syarat puasa (untuk I’tikaf nadzar dan I’tikaf sunnah), sedang dalam mazhab Hanafi puasa hanya merupakan syarat untuk I’tikaf wajib dan bukan I’tikaf sunnah. Mazhab Maliki dan Hanafi juga menambahkan syarat adanya niat I’tikaf.

Mengenai boleh tidaknya wanita melakukan I’tikaf,

  1. Izin dari suami

Ulama Syafi’I mengatakan sah bila seorang wanita ber-I’tikaf walaupun tidak mendapat izin suaminya tapi berdosa. Bila mendapat izin suaminya tapi wanita itu termasuk genit maka I’tikafnya makruh.

Mazhab Maliki, wanita tidak boleh melakukan I’tikaf nadzar maupun sunnah tanpa seizin suaminya kalau dia tahu betul bahwa suaminya butuh bersetubuh dengannya. Bila wanita tersebut melakukan juga tanpa izin suaminya maka I’tikaf itu sah, akan tetapi suaminya boleh membatalkannya dengan menyetubuhinya. Selanjutnya I’tikaf yang batal itu wajib diqadha, sekalipun hanya I’tikaf sunnah, karena wanita itu telah melanggar aturan dengan tidak meminta izin suaminya. Ia juga tidak boleh cepat-cepat meng-qadha I’tikafnya kecuali dengan izin suaminya.

  1. Keamanan

Bila ada masjid yang memberi keamanan buat wanita, dimana ia terlindung dari pandangan orang banyak, seperti masjid-masjid yang mempunyai maqshurat yang benar-benar terpisah antara lelaki dan perempuan, termasuk persediaan air, maka ia boleh melakukan I’tikaf bila suaminya mengizinkan.

Adapun bila wanita ini masih memiliki suami dan anak-anak yang lebih membutuhkan dia, maka lebih baik tinggal di rumah tidak perlu ber I’tikaf. Sementara itu bila wanita tersebut tidak mempunyai anak, baik yang masih bersuami atau yang sudah janda atau anak-anaknya sudah besar dan tidak membutuhkannya lagi, maka ia lebih baik ber I’tikaf, namun tetap dengan syarat keamanan betul-betul terjamin.

Wallahu A’lam

Sumber: Fiqih Wanita, Ibrahim Muhammad Al-Jamal