Catatan Haji: Di Arafah ku Bersujud…(Bagian 2)

Wukuf di Arafah (9 Dhulhijjah)

Kira-kira menjelang subuh kami baru tiba di  Arafah dan diturunkan di salah satu tenda yang kosong. Seperti anak yang kehilangan induknya, kami hanya pasrah dan menunggu panitia muncul. Tenda kosong tersebut ternyata bukanlah tenda yang tersedia buat kami, tetapi sebetulnya disediakan untuk jamaah lain yang saat itu belum datang. Namun lokasinya cukup nyaman karena dekat dengan kamar mandi dan tempat berwudhu. Kami pun menjalankan sholat subuh di sana.

Sekitar pukul 7 pagi, kami diinstruksikan untuk pindah tempat ke sisi seberang jalan. Karena tidak ada kejelasan masalah tempat, kami pun mulai mendirikan tenda untuk melindungi anak-anak dari angin dan matahari yang mulai menampakkan diri di ufuk timur sana. Hingga kira-kira 2 jam kemudian, kami harus pindah lagi ke tenda lain yang akhirnya diperoleh panitia. Rupanya tenda yang sudah disewa oleh panitia jauh hari sebelumnya sudah terisi jamaah lain karena kami datang terlambat, sehingga panitia harus mencari lokasi baru.

Hingga pukul 10 pagi ketua panitia penyelenggara belum juga muncul, tidak ada sarapan yang dibagikan. Perbekalan kami hanya biskuit, cereal, susu kotak, dan air putih buat mengganjal perut anak-anak.  Rencana yang sudah tertulis rapi rupanya hanya tinggal rencana. Kami sudah berpikiran buruk, jangan-jangan panitianya sudah melarikan diri dari tanggung jawab karena banyak kasus yang demikian. Para suami pun sudah berusaha keluar untuk mencari penjual makanan. Tapi lokasi kami memang jauh dari restoran atau penjaja makanan. Perut kami sudah lapar. Namun kami berusaha untuk menjalankan ibadah sebisanya dan mohon kepada Allah (SWT) untuk diberi kemudahan.

Pukul 11 siang makanan berupa bakso kuah dan bubur ayam pun datang. Meskipun sudah dingin tapi kami masih bersyukur karena  panitia masih memikirkan nasib kami. Kami merasakan kesulitan pengadaan makanan panitia penyelenggara karena tidak adanya juru masak yang sudah disiapkan sebelumnya.

***

Wukuf di Arafah adalah saat beribadah dan mohon ampun kepada Allah (SWT) sebanyak-banyaknya. Sholat dhuhur dan ashar dilakukan berjamaah dan di jama’ qashar. Ceramah dan siraman rohani dari ustadz kami telah menyejukkan hati para jamaah, membuat kami menangis, menitikkan air mata. Begitu banyak kesalahan dan dosa masa lalu yang telah saya lakukan. Begitu banyak urusan dunia yang berkali-kali lebih diutamakan..Semuanya harus dipertanggungjawabkan di akherat kelak. Ya Allah…tidak sanggup saya membayangkan bila tidak ada sedikitpun ampunan dan rahmat-Nya dilimpahkan kepada hamba-Nya. Tapi saya yakin Allah Maha Pengampun dan Maha Penerima Taubat, itu adalah janji Allah (SWT). Bulir-bulir air mata jatuh dari pelupuk mata ini. Doa pun tidak lupa saya panjatkan kepada almarhumah nenek yang saya badalkan hajinya agar dapat menambah pahalanya di yaumul hisab nanti. Doa kepada ibunda di tanah air (yang saat itu masih ada) yang senantiasa mendoakan kebahagiaan kami, doa kepada almarhumah ayahanda yang meninggalkan  kami ketika saya mengandung puteri kami 5 bulan… Begitu banyak permintaan saya kepada Sang Khalik…

Menjelang maghrib kami semua diminta mengemas barang-barang. Setelah melaksanakan jama’  sholat maghrib dan isha, kami pun berjalan menuju bus yang akan membawa kami ke Muzdalifah. Padatnya kendaraan di jalan membuat bus hanya bisa berjalan merayap. Bus akhirnya diparkir di salah satu lapangan dan memberi kesempatan kami untuk mencari batu kerikil di Muzdalifah. Karena anak-anak sudah tertidur, hanya beberapa orang wakil saja yang turun mencari batu kerikil untuk kami semua. Sebagian lagi tinggal di dalam bus, dan menunggu hingga waktu mabid di Muzdalifah selesai.