Catatan Haji: Perjalanan Penuh Tantangan…(Bagian 1)

Setiap Bulan Dhulhijjah datang, selalu terbersit niat untuk menjalankan ibadah haji. Sebagai warga yang tinggal di kawasan Saudi Arabia, pergi haji tidak harus menunggu kuota sampai berbulan-bulan atau bahkan beberapa tahun. Pendaftaran haji juga baru dibuka sekitar 1-2 bulan sebelum hari H. Bahkan agen haji ada yang masih menerima pendaftaran hingga beberapa hari menjelang keberangkatan.

Tahun 2006 lalu saya dan keluarga menunaikan ibadah haji badal bergabung dengan sesama Warga Negara Indonesia yang bermukim di Jeddah. Berhubung tidak ada yang bisa dititipi anak, saya pun berangkat bersama suami dan anak-anak. Bagi kami mukimin hal ini masih dimungkinkan karena seluruh ibadah wajib dan rukun dapat dilaksanakan dalam waktu kurang lebih 5-7 hari. Ada banyak group haji yang ditawarkan, dari yang murah sampai yang mahal. Kami bergabung dengan kelompok haji yang biasa saja, dengan fasilitas seadanya, bukan menginap di hotel.

Berangkat ke Arafah (8 Dhulhijjah)

Rombongan haji yang akan berangkat bersama kami sekitar 80 orang  dan diangkut dengan dua bus besar. Berdasarkan jadwal aktivitas yang kami terima, kami harus berkumpul pada tanggal 8 Dhulhijjah di lokasi yang tidak jauh dari gedung Konsulat RI pada pukul 5 sore. Oleh karena itu, sebelum maghrib kami sudah tiba di tempat. Bus yang akan membawa kami saat itu belum datang. Adzan maghrib sudah berkumandang jelas dari masjid yang tidak terlalu jauh dari tempat kami berkumpul. Kami pun sholat jama’ maghrib dan isha di salah satu ruang yang disediakan.

Hingga pukul 8 malam kami masih belum berangkat menuju Mekkah, padahal bus sudah datang dan diparkir di tepi jalan. “Jalannya masih padat”, kata panitia penyelenggara yang memantau jalan. Kamipun terus menunggu sambil menghibur kedua putri kami yang saat itu masih berumur 6,5 dan 2,5 tahun. Untung saja ada beberapa anak lain dalam rombongan itu, jadi setidaknya mereka masih bisa bermain bersama. Baru pada pukul 9 malam kami disuruh masuk bus, dan beberapa menit kemudian kami pun berangkat.

Oleh panitia, tempat duduk diatur sedemikian rupa. Saya dan anak-anak duduk di posisi nomor dua dari depan sebelah kiri. Suami duduk di barisan kanan sebelah kami. Di dalam bus, ustadz yang memandu kami menuntun kami untuk melafadzkan niat haji dan sedikit memberikan ulasan mengenai haji. Sambil berdzikir dan mengucapkan doa talbiyah, bus melaju perlahan. Panitia membagikan roti dan air mineral untuk sekedar mengganjal perut kami. Selang 45 menit bus kami sudah hampir memasuki kota Mekkah. Penyelenggara haji kami menunjukkan jalan yang harus dilalui kepada supir agar kami dapat lolos masuk ke Mekkah tanpa pemeriksaan. Namun entah mengapa bus yang membawa kami terus berputar-putar mencari jalan yang kosong dan aman. Bila dihitung mungkin kami sudah menyusuri jalan yang sama paling tidak tiga sampai empat kali. Hingga akhirnya supir bus bercakap-cakap dalam Bahasa Arab dengan pemandu kami. Sang supir pun kemudian menentukan jalannya sendiri untuk masuk ke Kota Mekkah.

Setelah kami memasuki perbatasan Kota Mekkah bus yang kami tumpangi harus melewati pemeriksaan (check point) dokumen oleh polisi. Berdasarkan informasi dari orang-orang yang berpengalaman menyelenggarakan haji, umumnya panitia haji sudah mendaftarkan nomor polisi kendaraan agar para jamaah haji (dalam group) dapat selamat masuk ke batas Haram Mekkah tanpa melalui pemeriksaan yang rinci. Namun kali ini bus yang kami tumpangi harus menepi dahulu untuk melalui proses pemeriksaan ini.  Keluarga dan teman-teman yang memiliki ighomah (ijin tinggal) resmi memang diposisikan di tempat duduk depan oleh panitia penyelenggara dengan harapan polisi tidak akan memeriksa keseluruhan dokumen para jamaah.

Suasana begitu hening dan mencekam saat polisi masuk ke dalam bus dan memeriksa satu persatu penumpang bus dengan teliti. Apalagi saat mengetahui penumpang di dalamnya orang Indonesia. Saya dan suami pun cemas karena kami membawa beberapa penumpang yang kami yakin tidak memiliki ighomah. Begitu pemeriksaan sampai ke belakang, terdengar perdebatan antara salah seorang jamaah dengan polisi. Biasanya polisi akan memeriksa foto yang tertera dalam ighomah dan wajah kami dengan seksama. Anak-anak terdiam. Saya hanya bisa menjelaskan kepada anak-anak saya dengan suara yang dibuat setenang mungkin bahwa pemeriksaan semacam ini adalah hal biasa. Sungguh di luar harapan kami ketika sebagian jamaah ada yang memang harus keluar dari bus karena tidak memiliki bukti sah ighomah dan terpaksa tidak bisa melanjutkan perjalanan haji meskipun penyelenggara haji sudah menjelaskan kepada polisi dengan segala macam cara. Akibatnya sejumlah jamaah yang tadinya mengisi penuh tempat duduk di dua bus, terpangkas menjadi 1 bus saja. Artinya separuh dari jamaah yang sudah berniat haji, terpaksa masuk tarhil (tahanan) karena tinggal di Saudi melebihi batas waktu. Kami faham karena sebagian dari group kami adalah TKI dan TKW yang mungkin illegal. Kebanyakan mereka memang untung-untungan, artinya kalau lolos… ya berangkat, kalau tidak lolos sudah siap dipulangkan ke Indonesia! Hidup keras seperti ini sudah menjadi hal yang lumrah bagi mereka.

Rasa sedih berkecamuk di hati kami yang turut merasakan bagaimana mereka sudah menabung dan mengeluarkan uang gaji 1 bulan penuh demi menjalankan ibadah haji tetapi batal dan terpaksa harus dipulangkan ke Indonesia, termasuk juru masak rombongan kami. Supir bus yang kami tumpangi pun marah kepada panitia penyelenggara karena dia tidak tahu apa-apa dan dimarahi oleh pemilik bus karena pemilik pun dikenakan denda yang cukup besar.

Supir bus yang kami tumpangi akhirnya menurunkan jamaah yang tersisa di salah satu terminal bus di Mekkah, entah di mana. Yang kami tahu, kami harus melanjutkan perjalanan ke Arafah dengan bus lain. Dapat dibayangkan perasaan kami waktu itu. Saya kasihan dengan anak-anak kecil dan dua teman yang sedang hamil muda ketika itu, harus turut menderita terkena asap kendaraan dan udara malam yang mulai dingin. Bawaan kami juga tidaklah sedikit, karena kami membawa anak-anak. Tenda, selimut tebal, tikar, pakaian, dan makanan harus kami turunkan dari bus dan dibawa sendiri. Kereta dorong untuk putri kecil kami, pada akhirnya bermanfaat tidak hanya membawa si kecil tapi juga barang-barang kami. Saya hanya bisa tersenyum kepada kedua putri kami untuk menguatkan mereka.

Setelah menunggu kira-kira 1 jam, kami pun dapat melanjutkan perjalanan dengan menumpang bus umum walaupun kami harus terpecah menjadi grup-grup kecil. Ustadz yang membimbing kami berusaha menenangkan kami semua karena ini adalah bagian dari ujian Allah SWT. Saya pun mendengar berita bahwa ternyata masih ada 2 wanita dalam group kami yang lolos dari pemeriksaan dengan bersembunyi di toilet bus. Padahal menurut mereka polisi sudah menggedor-gedor pintu toilet yang dikunci dari dalam. Besarnya ruang toilet itupun mungkin hanya muat untuk 1 orang, tapi mereka tetap kukuh terdiam hingga polisi beranjak pergi.