Donor ASI Dalam Pandangan Islam

Kandungan nutrisi yang lengkap menjadikan air susu ibu (ASI) sebagai asupan paling ideal untuk tumbuh kembang bayi baru lahir hingga berusia enam bulan. Organisasi kesehatan dunia (WHO) telah merekomendasikan pemberian ASI selama enam bulan pertama kehidupan seorang bayi yang dilanjutkan hingga usia dua tahun di mana saat usia enam bulan bayi mulai diberikan makanan pendamping ASI.

Saat ini para ibu banyak yang telah memahami betapa pentingnya pemberian ASI dalam enam bulan pertama kehidupan bayi (ASI eksklusif). Namun karena sejumlah alasan tertentu seorang ibu tidak bisa menyusui buah hati mereka, sementara di satu sisi ingin tetap memberikan ASI demi kesehatan dan tumbuh kembang maksimal bagi bayi mereka. Di sisi lain, ada sebagian ibu yang produksi ASI-nya melimpah dan memiliki stok ASI perah (ASIP) yang berlebihan lalu mendonorkannya.

Salah satu pendonor ASIP, Nadiroh, 36, memutuskan mendonorkan ASIP karena stok yang berlebihan sehingga sayang jika dibuang. “Saya donor ASI juga karena alasan kemanusiaan. Di Rumah Sakit Sardjito banyak bayi yang butuh donor ASI dengan berbagai alasan. Ada yang ibunya koma dan ada yang tidak bisa menyusui karena mengidap penyakit tertentu,” cerita Nadiroh kepada aMuslima.

Ibu tiga anak yang tengah menempuh pendidikan magister ilmu komunikasi Universitas Sebelas Maret Surakarta (UNS) tersebut dalam satu tahun terakhir telah mendonorkan ASI untuk delapan bayi yang berasal dari Magelang, Yogyakarta, Purwokerto dan Tegal. “Sebelum mendonorkan ASI saya memastikan dulu stok untuk anak saya mencukupi baru setelah itu kelebihan stok saya donorkan,” ujar Nadiroh yang mengajar sebagai dosen luar biasa di Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga Yogyakarta.

Memberikan ASI untuk bayi yang bukan anak kandung disadari Nadiroh dalam hukum Islam menimbulkan konsekuensi terjadinya mahram (haramnya pernikahan) karena radla’ (sepersusuan). Oleh karena itu sejak awal Nadiroh menyampaikan kepada orang tua bayi yang mendapatkan donor ASI-nya agar sejak kecil mengenalkan anak mereka dengan anak-anaknya sebagai saudara sepersusuan begitupun sebaliknya. Lalu sebenarnya bagaimana Islam memandang mengenai donor ASI?

Dalam pandangan Islam, donor ASI sudah dikenal sejak zaman Rasulullah. Halimah Sadiyah merupakan ibu persusuan Nabi Muhammad (SAW) saat masih bayi. Dalam Alquran diterangkan mengenai seruan pemberian ASI bagi bayi hingga berusia dua tahun seperti firman Allah (SWT):

وَالْوَالِدَاتُ يُرْضِعْنَ أَوْلَادَهُنَّ حَوْلَيْنِ كَامِلَيْنِ ۖ لِمَنْ أَرَادَ أَنْ يُتِمَّ الرَّضَاعَةَ

Para ibu hendaklah menyusukan anak-anaknya selama dua tahun penuh, yaitu bagi yang ingin menyempurnakan penyusuan (QS Al-Baqarah: 233).

Di Indonesia, permintaan terhadap donor ASI maupun tawaran untuk mendonorkan ASI dalam beberapa tahun terakhir banyak berseliweran di berbagai media sosial maupun melalui berbagai komunitas ibu menyusui. Menyikapi hal ini Majelis Ulama Indonesia (MUI) mengeluarkan fatwa No 28 Tahun 2013 Tentang Seputar Masalah Donor ASI atau Istirdla’.

Dalam fatwa itu disebutkan bahwa memberikan ASI kepada anak yang bukan anak kandung dan anak yang menerima ASI dari ibu yang bukan ibu kandung diperbolehkan. Namun ditekankan bahwa persusuan (radla’) menyebabkan terjadinya mahram atau haramnya terjadi pernikahan. Ada beberapa hal yang menyebabkan persusuan menjadi mahram antara lain:

1. Usia anak yang menerima susuan maksimal dua tahun.

2. Ibu pendonor ASI diketahui identitasnya secara jelas.

3. Jumlah ASI yang dikonsumsi minimal sebanyak lima kali persusuan.

4. Cara penyusuan dilakukan langsung ke puting susu ibu (imtishash) maupun melalui perahan.

5. ASI yang dikonsumsi anak tersebut mengenyangkan.

Mahram akibat persusuan dijelaskan dalam sejumlah hadis Nabi Muhammad (SAW) antara lain:

Diharamkan (untuk dinikahi) akibat persusuan apa-apa yang diharamkan (untuk dinikahi) dari nasab/hubungan keluarga (HR Bukhari, Kitab Al-Syahadaat Bab Al-Syahadatu Ala Al- Ansaab ; Muslim, Kitab Al-Radhaa’ Bab Yakhrumu Min Al- Radhaa’ Maa Yakhrumu Min Al-Wilaadah).

Sesungguhnya persusuan (yang menimbulkanm hukum radla’) hanyalah di masa anak membutuhkan ASI sebagai makanan pokok (HR Bukhari, Kitab Al-Syahaadah Bab Al-Syahaadah ala Al-Ansaab dan Kitab Al-Nikaah Bab Man Qolaa La Radhaa’a Ba’da Hawlaini; Muslim, Kitab Al-Radhaa’ Bab Innamaa Al-Radhaa’ min Al-Majaa’ah).

Tidak berlaku hukum persusuan setelah anak mencapai usia dua tahun (HR Al-Daaruquthni, Kitab Al-Radhaa’ah).

 

Wallahu A’lam