Kisah Nyata Mantan Penderita Kanker

Dokter di depannya mengusap mata dan mengulangi membaca hasil tes patologi seminggu paska Aisha menjalani operasi usus buntu di salah satu RS di Jakarta. Seolah dia tidak percaya dengan hasil yang tertera di laporan tes patologi tersebut: metastase kanker ditemukan di sampel usus buntu yang telah dipotong. Sejenak kemudian beliau menyatakan akan meminta konfirmasi ke laboratorium, sembari memberi Aisha sehelai kertas memo untuk melakukan pemeriksaan: tes darah, USG, dan rontgen. Demikian Aisha mengawali cerita asal mula dia mengetahui penyakit kanker yang dideritanya kepada indo.aMuslima.

Reaksi awal dia sempat terkejut mendengar vonis kanker tersebut, tak kuasa menahan tangis seraya membayangkan gelapnya dunia di sekitarnya. Apalagi selama ini Aisha tidak punya keluhan apapun, bahkan dia menjalani hari-harinya dengan segudang aktivitas tanpa merasa lelah. Di usianya yang akan memasuki 47 tahun, ibu dua orang putera dan puteri ini masih aktif bekerja di Jakarta, ditambah dengan pulang pergi tiap minggu Jakarta-Yogya, tempat anak-anaknya tinggal dan menuntut ilmu.

Rasanya tidak percaya, seperti yang mungkin dirasakan banyak pasien kanker lain saat pertama kali vonis sakit diketahui. Seorang dokter teman baiknya -yang ‘menjemput paksa’ Aisha dari kos-kosan di Jakarta, membawanya ke UGD, menungguinya selama operasi, hingga membayar deposit biaya operasinya. Pengeluaran yang tak terencana dan kondisi keuangannya yang sedang kantong kering saat itu karena dia baru saja selesai membangun rumahnya. Tetapi dokter itu menghiburnya, “lebih baik ketahuan penyakitnya sekarang sehingga bisa segera ditangani,” katanya. Episode pertama operasi usus buntu dilakukan pada Bulan November 2013.

Aisha pun menelepon kakaknya sembari tersedu, kakaknya terkejut namun beliau menghiburnya. Sekitar setengah jam kemudian Aisha menghapus air matanya dan bangkit. Dia pun berpikir, selama ini Allah SWT sudah memberi kenikmatan dan karunia yang luar biasa padanya dan keluarganya, dan diapun bahagia menerima semua kenikmatan tersebut. Kenapa sekarang dia menangis seolah tidak ikhlas dengan takdir dan ujianNya? “Begitu tidak sopan rasanya kalau aku nggak ikhlas menerima penyakit yang konon berat dan banyak merenggut nyawa manusia. Aku harus sabar dan ikhlas dengan penyakit ini. Demikian tekadku. Tak ada lagi airmata!” tutur Aisha.

Bagaimanapun juga Aisha bersyukur, Allah SWT memberitahu penyakit yang gawat tersebut melalui operasi usus buntu. Seandainya tidak dioperasi dan tes patologi, kankernya tidak ketahuan karena tidak ada gejala apapun sebelumnya dan mungkin kanker akan merenggut nyawanya dalam keadaan dia masih merasa berlumuran dosa tanpa sempat bertaubat.

Selanjutnya Aisha mengabarkan hasil tes patologi yang mengindikasikan metastase kanker di usus buntunya ke supervisornya, seorang WNI keturunan Chinese alumnus US. Istrinya dokter dan beliau juga paham tentang isu-isu kedokteran. Meski supervisornya itu ditakuti oleh teman-teman sekantornya, namun sikapnya kepada Aisha sangat baik. Beliau menyuruhnya – lebih tepatnya mengharuskannya – untuk berobat ke Singapura. Tidak cukup dengan itu, beliau menyuruh anak buahnya yang lain – alumnus NUS (National University of Singapore) – untuk mencarikan dokter dan membuat appointment dengan RS di Singapura. Beliau juga mencarikan bahan-bahan tentang kanker dari National Cancer Institute, USA.

Adapun teman yang membuat appointment dengan RS di Singapura itu selanjutnya bahkan ikut mengantarkannya ke sana dengan biayanya sendiri. Pada tanggal 4 November 2013, Aisha konsultasi dengan dr. Cheong Wai Kit, kepala unit collorectal RS di sana. Jam 11 bertemu dengan dr. Cheong, ia menjelaskan kronologis kasusnya. Dokter menyuruhnya tes darah dan CT scan siang itu juga. Berbeda dengan tes darah yang disarankan dokter di Jakarta yang mengetes indikator kanker secara umum, dr. Cheong memesan tes darah yang dapat menunjukkan beberapa indikator kanker di antaranya CA 125.

Jika tes darah, rontgen dan USG di RS di Jakarta dan Yogyakarta tidak berhasil mendeteksi primary cancer yang bersarang di tubuhnya (karena tesnya bersifat umum), maka hasil tes darah dan CT scan di RS di Singapura dalam waktu sekitar 3 jam sudah menemukan: primary peritoneum cancer (PPC) jenis kanker yang cukup langka dan belum banyak penelitian tentang kanker jenis ini. Karena PPC satu rumpun dengan kanker rahim, maka dr. Cheong merujuknya ke Prof. Jeffrey Low, kepala klinik obsgyn oncology RS. Dr. Jeffrey mengatakan kemungkinan PPC nya sudah stadium 3C atau bahkan 4. Beliau juga menjelaskan tentang opsi treatment yang ada beserta plus minusnya. Singkat cerita dia memutuskan untuk kemoterapi dulu 3 kali sambil menunggu organ dalam -karena operasi usus buntu- kering lalu operasi untuk mengangkat kanker dan rahim, dilanjutkan dengan kemo lagi 3 kali.

Sekali lagi, Allah SWT memberinya kesempatan untuk bertahan hidup melalui tangan-tangan supervisornya yang mengharuskannya berobat ke Singapura dan tangan-tangan ahli dokter-dokter setempat yang bisa mendiagnosis secara tepat. Andai dia tetap berobat di Jakarta, PPC nya mungkin tidak terdeteksi secara cepat, karena hasil tes darah, rontgen dan USG tidak menunjukkan adanya kanker di tubuhnya. Semula dokter di Jakarta hendak melakukan colonoskopi karena menduga kankernya di usus. Namun belum sempat menjalankan  colonoscopi, Aisha sudah pindah berobat ke Singapura.

Setelah hasil tes di RS di Singapura yang mengisyaratkan primary peritoneum cancer stage 3C atau bahkan 4, Aisha bermuhasabah. Teringat betapa selama ini dia begitu workaholic sampai-sampai kadang sholatnya sudah mepet waktunya. Terutama jika sedang meeting, rasanya sungkan untuk keluar dari meeting tersebut untuk sholat, atau kalau sedang mengejar deadline, sedang fokus, tanggung jika kerjanya berhenti atau terputus. Satu demi satu Aisha mengingat dosa-dosa dan kekhilafannya selama ini. Muncul penyesalan diiringi doa semoga taubat nasuha masih terbuka sebelum ajal menjemputnya dan Allah SWT yang Maha Pengampun dapat mengampuni dosa-dosanya.

Kalimat-kalimat istighfar dan dzikrulloh menghiasi hatinya termasuk dzikir Nabi Yunus saat terjebak dalam perut ikan:

…..Laa ilaha illa anta subhanaka inni kuntu minadz dzoolimiin. (Al-Anbiya 87)

“Ya Allah, tidak ada Tuhan selain Engkau. Maha Suci Engkau. Sungguh aku ini termasuk orang-orang yang zalim”.

Serta dzikir,

Laa hawla wa laa quwwata illa billahil ‘aliyul’adzim.

“Tidak ada usaha, kekuatan dan upaya selain dengan kehendak Allah.

Seperti yang tersebut dalam hadits berikut,

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pada ‘Abdullah bin Qois,

يَا عَبْدَ اللَّهِ بْنَ قَيْسٍ قُلْ لاَ حَوْلَ وَلاَ قُوَّةَ إِلاَّ بِاللَّهِ . فَإِنَّهَا كَنْزٌ مِنْ كُنُوزِ الْجَنَّةِ

“Wahai ‘Abdullah bin Qois, katakanlah ‘laa hawla wa laa quwwata illa billah’, karena ia merupakan simpanan pahala berharga di surga” (HR. Bukhari no. 7386)

Selama kemo ia jalankan, yang dimulai November 2013, tiap 3 minggu sebanyak 6 kali, murotal Qur’an yang dilantunkan dari telepon genggamnya lamat-lamat ia dekatkan ke selang infus kemonya dengan harapan obat kemo yang masuk melalui infus tersebut mengandung partikel-partikel yang baik dan bermanfaat karena bacaan murotal Qur’an tersebut. Alhamdulillah Aisha tidak merasakan penderitaan yang berarti selama periode 6 kali kemo tersebut. Hanya mual, muntah, lemas, hilang selera makan, konstipasi, rambut rontok dan efek-efek samping kemo yang bersifat minor yang sudah dia ketahui dari referensi yang dia baca.

Biasanya Aisha memerlukan waktu 3-5 hari untuk mengatasi efek sampingnya, setelah itu dia terbang ke Jakarta lagi dari rumahnya di Yogya untuk bekerja seperti biasa. Supervisornya sampai melarangnya masuk kerja karena membayangkan dahsyatnya efek kemo, tapi dia menyakinkan beliau kalau dia sudah bisa bekerja lagi.

Selama periode tersebut, teman-teman di kantor men-support-nya. Ada seorang temannya saat sebelum Aisha menjalani kemo dan operasi, tiap hari membawakan air rebusan daun sirsak yang konon dipercaya sebagai obat alami anti kanker. Dari security guards, office boy hingga direktur semua men-support. Direktur dan supervisornya memberi kebebasan kepadanya untuk ngantor atau tidak. Khusus di ruang kerjanya disediakan sofa panjang untuk tempatnya beristirahat.

Selama pengobatan di Singapura, ada beberapa kejadian yang mengindikasikan kemudahan dari Allah SWT. Alhamdulillah berkat pertolongan Allah, sekitar pertengahan tahun 2014, Aisha berhasil menyelesaikan 6 kali kemo plus 1 kali operasi pengangkatan kanker dan rahim dengan hasil yang baik, kanker di tubuhnya menjadi inactive. Di samping medical treatment dari dokter-dokter di Singapura dan pengobatan spiritual melalui dzikir, doa, murotal dan sebagainya, dia juga minum madu dan habatussauda serta sempat minum air rebusan daun sirsak beberapa hari.

Sekitar November 2015, hasil quarterly check up menunjukkan indikator CA 125 Aisha naik melebihi ambang batas normal. Kankernya aktif lagi. Kali ini tiap BAB perut bagian kiri bawah terasa sakit. Dokter di Singapura mengatakan kemungkinan usus besarnya terkena penyebaran kanker sehingga harus dipotong. Pada tanggal 13 Januari 2016, dia menjalani operasi yang kedua kalinya di Singapura untuk menyingkirkan kanker-kanker dan memotong usus besarnya.

Untuk sementara ususnya ditutup dan dibuatkan kantong kolostomi untuk menyalurkan BAB. Berbeda dengan operasi dan kemo 2013 – 2014, operasi kali ini rumit, kandung kemihnya bocor sehingga air seni masuk ke perut yang menimbulkan infeksi. Tiap malam dia demam. Bahkan ada saat-saat dimana Aisha merasa sangat lemah, jangankan menggerakkan anggota badan, mengucap satu katapun dia tak mampu. Ada waktu-waktu dimana makanan tidak bisa masuk.

Sebulan dirawat di RS di Singapura membuat semangatnya turun. Keluarga dan temannya terus menerus menyemangati dirinya. Salah seorang teman kuliahnya -mereka terpisah selama 20 tahun lebih dan baru bertemu kembali awal 2015 saat reuni- seperti menjadi malaikat penolongnya. Hampir saja operasinya diundur karena insurance provider-nya belum membayar deposit padahal sudah sejak sebulan sebelumnya urusan tersebut diproses dan beberapa hari sebelumnya provider tersebut mengatakan mereka bisa memenuhinya.

Malam hari menjelang operasi, Aisha menelepon temannya tersebut karena kebetulan suaminya bekerja di Singapura dan alhamdulillah kurang dari sejam setelah berkomunikasi dengan suaminya, mereka bisa memberi pinjaman setengah milyar lebih untuk deposit operasinya. Sebulan Aisha dirawat di RS di Singapura, pembantu temannya tiap hari mengantar makanan kesukaannya agar dia mau makan (dia hanya bisa makan menu Indonesia).

Pengalaman tidak bisa berkata dan bergerak di atas memberinya pelajaran betapa lemahnya manusia. Masih bisakah kita menyombongkan diri sementara untuk menguasai organ tubuh kita sendiripun kita tak mampu? Betapa banyaknya nikmat yang telah Allah SWT berikan, antara lain dalam bentuk kesehatan, kita bisa bernafas (silakan hitung sendiri berapa puluh tahun kita bernafas gratis! Kalau di RS, pasang oksigen sejam saja sudah berapa biayanya), kita bisa makan dan sebagainya. Apalah artinya harta yang kita miliki jika untuk makan saja kita tidak bisa. Harta seberapa banyakpun tidak bisa ditukar untuk menggantikan kesakitan.

Selama Januari – April 2016 Aisha keluar masuk RS  dan opname sekitar 10 kali di RS di Singapura, Jakarta, dan Yogyakarta. Ada saat-saat dimana ia merasa mungkin panggilan Allah sudah dekat. Lagi-lagi dia bermuhasabah. Satu hal yang masih menjadi pekerjaan rumahnya, dia ingin pindah kerja yang lebih halal dan thoyib. Sekitar delapan bulan cuti sakit, tersedia banyak waktu untuk membaca dan mempelajari Qur’an. Ustadznya menasihatinya agar sabar dan ikhlas, mohon pertolongan pada Allah karena hanya Allah yang Maha Penyembuh. Istighfar, dzikrullah dan asmaul husna diperbanyak.

Selama Aisha dirawat, saudara-saudaranya beberapa kali mengaji dan berdoa bersama untuk kesembuhannya dengan anak-anak yatim piatu dan dhuafa di ponpes mereka. Alhamdulillah, berkat pertolongan Allah hari-hari yang berat tersebut berhasil ia lewati dan saat ini kondisinya sudah normal, kantong kolostominya sudah diangkat melalui operasi November 2016. Aisha bisa bekerja lagi, sudah mulai berenang lagi dan menjalani aktivitas-aktivitas lain dengan normal.

Terakhir pesan Aisha buat ikhwan dan akhwat yang sedang diuji dengan penyakit, jangan berkecil hati, Allah SWT berfirman bahwa Qur’an merupakan penyembuh bagi kaum mukmin dan hanya Allah sajalah Penyembuh yang Maha Kuasa atas segala sesuatu. Syarat mati tidak harus sakit atau tua, mati bisa kapan saja pada kondisi apa saja dan jika sudah tiba saatnya tidak ada seorangpun yang bisa memundurkan atau memajukaannya. Semoga kita semua pandai mengatur waktu dan hidup kita yang singkat di dunia ini untuk menyiapkan bekal menempuh perjalanan yang kekal di akhirat nanti. Aamien.

***

Kisah nyata di atas dituturkan dan ditulis oleh Aisha (bukan nama sebenarnya) mantan pasien kanker primary peritoneum kepada indo.aMuslima.