Kisah Pembatik Difabel: Hidup Mandiri dari Membatik (Bagian 1)

Menghasilkan selembar kain batik tulis tak hanya membutuhkan kejelian dan ketekunan tapi juga kehati-hatian yang membuat proses pengerjaannya memakan waktu lama. Meski terbilang pekerjaan yang rumit, Ayu Tri Handayani di tengah keterbatasannya yang terlahir tanpa lengan kanan serta tangan kiri mengecil asyik menekuni profesi sebagai pembatik dan hidup mandiri dari membatik.

Karena keterbatasan pada kedua tangannya, perempuan yang akrab disapa Ayu tersebut menggunakan jari jemari kakinya untuk membatik. Jari-jari kakinya begitu terampil menjepit canting lalu memoleskan malam mengikuti pola gambar di kain dan menghasilkan kain batik tulis yang indah.

Ayu tak menyadari memiliki bakat membatik. Kepiawaian membatik didapatkan Ayu dari mengikuti sebuah kursus yang diselenggarakan Yayasan Penyandang Anak Cacat (YPAC) Solo. Awalnya perempuan berusia 24 tahun ini hanya setengah hati belajar membatik.

“Saya tidak suka menggambar jadi saat tes penyaringan kursus membatik saya sengaja seenak saya mengerjakan tes agar tidak lolos. Tapi ternyata saya lolos tes,” ujar Ayu. Ayu yang terpilih menjadi salah satu dari empat siswa yang diterima dalam kursus membatik tersebut mengaku akhirnya terpaksa mengikuti kursus itu.

Setelah belajar membatik selama beberapa waktu Ayu mulai terbiasa hingga akhirnya dia jatuh cinta pada aktivitas membatik. Perempuan asal Ngemplak, Boyolali, ini pun kemudian memutuskan untuk serius menekuni profesi sebagai pembatik.

Kain batik karya Ayu biasanya dipasarkan melalui pameran. Ayu dibantu oleh pemilik perusahaan Batik Anak Negeri, Abu Bakar, untuk memasarkan kain batik karyanya. Ayu mengaku membutuhkan waktu sekitar dua bulan untuk menghasilkan selembar kain batik tulis ukuran panjang dua hingga tiga meter. Semakin rumit motif batik akan semakin lama pengerjaannya.

Pembatik difabel, Ayu Tri Handayani, saat membatik di sebuah pameran.
Pembatik difabel, Ayu Tri Handayani, saat membatik di sebuah pameran.

Harga kain batik karya Ayu yang diikutkan dalam pameran bisa mencapai belasan juta rupiah. Kain batik tulis karya Ayu rata-rata terjual tujuh hingga delapan lembar dalam setiap kali pameran.

Dari hasil membatik Ayu bisa mandiri membiayai kebutuhannya sendiri. Putri pasangan Sarwono dan Triyatmi ini juga bisa membantu orang tuanya memenuhi kebutuhan keluarga serta menyisihkan uang untuk ditabung.

Selain memasarkan lewat pameran, Ayu juga membuat kain batik berdasarkan pesanan. Namun Ayu mengaku akhir-akhir ini jarang mengikuti pameran. Sekarang dia sedang mencoba membuat beberapa produk batik dalam ukuran yang lebih kecil seperti sapu tangan dan taplak meja.

Namun saat ini dia terkendala soal pemasaran produk batiknya. Saat ini yang bisa dilakukan Ayu untuk memasarkan produk baru dari karya batiknya melalui berbagai media sosial seperti instagram, facebook dan twitter.

Ayu berharap suatu saat bisa memiliki toko batik yang menjual produk batik karyanya dan karya teman-teman difabel lainnya. “Saya ingin mengajak teman-teman (difabel) untuk ikut membatik,” harap Ayu.(Bersambung)