Menadaburkan Isra’ Miraj

 

Masih teringat di benak saya ketika saya kecil, saya selalu merayakan Isra’ Mi’raj di sekolah setiap bertepatan dengan tanggal 27 Rajab. Kami semua dikumpulkan dalam aula sekolah untuk mendengarkan ceramah guru tentang sejarah Isra’ Mi’raj dan asal mula perintah sholat lima waktu.

Setelah beranjak dewasa semakin banyak yang saya pelajari tentang Isra’ Mi’raj ini termasuk pro dan kontra apakah Isra’ Mi’raj ini perlu untuk dirayakan? Hingga kini perdebatan itu masih ada. Bagi yang tidak setuju adanya segala perayaan apakah itu Maulid Nabi, Nuzulul Quran, ataupun Isra’ Mi’raj mengatakan bahwa segala hal yang Rasulullah (SAW) tidak pernah lakukan semasa hidup ataupun setelah wafatnya, hukumnya haram dan bid’ah. Namun pendapat yang membolehkan mengatakan bahwa hal tersebut bukan bid’ah karena tidak menambah atau merubah ritual ibadah seseorang. Tidak menambah jumlah raka’at sholat, tidak menambah gerakan sholat, tidak menambah atau mengurangi doa sholat, dan sebagainya.

Bahkan peristiwa Isra’ Mi’raj nya sendiri tidak ada yang menyebutkan tanggal pastinya. Benarkah terjadi tanggal 27 Rajab? Mengutip dari eramuslim, Ibn Ishaq al-Harbiy berpendapat bahwa Isra’ dan Mi’raj terjadi pada tanggal 27 Rabi al-Akhir, setahun sebelum Hijrahnya Rasulullah (SAW) ke Madinah. Apakah pada tahun ke sepuluh kenabian ataukah sesudahnya? Menurut riwayat Ibnu Sa’ad di dalam Thabaqat-nya, peristiwa ini terjadi delapan belas bulan sebelum Hijrah. Banyaknya pendapat tentang kapan tahun kejadian Isra’ Mi’raj ini karena perbedaan tentang waktu meninggalnya istri Rasullah (SAW) yang pertama yaitu Siti Khadijah. Ada yang menyatakan, meninggalnya Khadijah dua tahun, tiga tahun atau empat tahun sebelum Hijrah ke Madinah. Sedangkan menurut Abu Bakr Muhammad bin Ali bin al-Qasim al-Zahabiy, peristiwa Isra’ Mi’raj terjadi delapan belas bulan setelah masa kenabian. Sementara menurut al-Qaradhawi, tidak ada satu hadist sahih-pun yang menjelaskan bahwa Isra’ Mi’raj terjadi pada tanggal 27 Rajab.

Oleh karena tidak ada ketentuan kapan Isra’ Mi’raj itu terjadi dan sudah pasti Allah (SWT) sengaja tidak memberitahukan kepada hambaNya bukan karena terlupa, berarti bagi Allah (SWT) kapan terjadinya adalah tidak penting,  namun hikmah dari peristiwa Isra’ Mi’raj ini lebih penting.

Kita lebih baik mendalami bagaimana Rasulullah (SAW) melakukan perjalanan malam dari Masjidil Haram Mekkah ke Baitul Maqdis Jerussalem kemudian dari Jerussalem naik ke langit tertinggi ke Sidratul Muntaha. Bagaimana Rasulullah (SAW) mendapat perintah sholat dari 50 kali berkurang menjadi 5 kali dengan proses bolak balik menghadap Allah (SWT) agar kaumnya memperoleh keringanan dalam menjalankan ibadah sholatnya. Bagaimana Rasulullah (SAW) bertemu dengan Nabi Adam (AS) di langit pertama, kemudian Nabi Yahya (AS) dan Nabi Isa (AS) di langit ke-2, Nabi Yusuf (AS) di langit ke-3, Nabi Idris (AS) di langit ke-4, Nabi Harun (AS) di langit ke-5, Nabi Musa (AS) di langit ke-6, Nabi Ibrahim (AS) di langit ke- 7, dan langit teratas adalah Sidratul Muntaha. Bagaimana Rasulullah (SAW) setiap turun dari atas langit, Nabi Musa (AS) selalu bertanya kepada Rasulullah (SAW), apa yang Allah (SWT) perintahkan. Nabi Musa (AS) pula yang selalu minta kepada Nabi Muhammad (SAW) untuk kembali ‘bernegosiasi’ dengan Allah (SWT) mengenai berapa kali sholat per harinya. Karena Nabi Musa (AS) memiliki masa dakwah yang panjang dan sulit menghadapi kaumnya untuk taat dan menyembah kepada Allah (SWT). Betapa berat kaum Nabi Muhammad (SAW) bila harus menjalankan sholat 50 kali sehari, bahkan 10 kali sehari.

Kemudian Rasulullah (SAW) pun ditunjukkan keadaan surga dan keadaan neraka, dimana lebih banyak wanita yang masuk ke dalam neraka dibandingkan pria.

“Dan aku melihat neraka. Aku belum pernah sama sekali melihat pemandangan seperti hari itu. Aku lihat ternyata mayoritas penghuninya adalah wanita.” Mereka bertanya, “Mengapa para wanita menjadi mayoritas penghuni neraka, ya Rasulullah? ” Beliau menjawab, “Disebabkan kekufuran mereka.” Ada yang bertanya kepada beliau, “Apakah para wanita itu kufur kepada Allah?” Beliau menjawab, “(Tidak, melainkan) mereka kufur kepada suami dan mengkufuri kebaikan (suami). Seandainya engkau berbuat baik kepada salah seorang istri kalian pada suatu waktu, kemudian suatu saat ia melihat darimu ada sesuatu (yang tidak berkenan di hatinya) niscaya ia akan berkata, “Aku sama sekali belum pernah melihat kebaikan darimu.” (HR. Bukhari dan Muslim).   

Disebutkan pula bahwa mengapa jumlah wanita lebih banyak di neraka karena memang dalam hadits Bukhari menyatakan jumlah wanita akan meningkat dan jumlah pria akan menurun hingga seorang pria harus menjaga lima puluh wanita.

Kita memang harus terus mempelajari apa pesan yang ingin disampaikan dalam peristiwa yang Maha Agung ini agar kita menjadi hamba Allah (SWT) yang akan bertemu denganNya di akherat kelak. Aamiin ya Rabbal Alamiin.