Sekolah Anak Pemulung AlFalah, Cita-Cita yang Terwujud (1)

Bermanfaat bagi orang banyak tentu menjadi impian banyak orang. Tapi tidak semua orang memiliki waktu, tenaga, biaya, kesabaran, dan konsistensi untuk tetap menjalankan cita-cita awalnya. Setiap orang bisa saja putus usaha di tengah jalan, karena mengabdi buat orang banyak itu benar-benar membutuhkan tekad yang luar biasa. AlFalah adalah sekolah yang dikhususkan buat fakir miskin yang didirikan oleh seorang wanita bersemangat tinggi, Ibu Wulan Sari (47).

Lokasi Sekolah AlFalah adalah di Bantar Gebang Bekasi, tempat orang-orang Jakarta mengirimkan dan menumpuk sampah-sampah domestiknya. Tidak heran sebagian besar orang tua murid bekerja sebagai pemulung di sana. Dengan rumah-rumah bedeng yang mereka huni, beratnya memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari, membuat orang tua tidak memikirkan nasib pendidikan anak mereka. Bagi mereka apa yang bisa mereka makan hari ini lebih penting dibandingkan menuntut ilmu yang tidak menambah uang makan hari itu.

Awalnya Sekolah AlFalah masih berupa kelas berbahan kardus, kemudian bambu, kemudian meningkat menjadi kayu dan bambu dengan atap seng yang bolong-bolong, baru menjadi sekolahan yang bertembok seperti sekarang. Bagaimana bisa Ibu Sari, panggilan akrab Wulan Sari, sanggup menahan mual, menahan takut dengan belatung, harus bisa tersenyum ketika warga setempat berbaik hati menyuguhi makanan bersambal ijo di cobek dengan penuh lalat ijo?

aMuslima berkesempatan untuk mewawancarai Ibu Sari, yang kini menetap di Paris mengikuti suaminya ini.

Bersama kedua buah hatinya
Bersama kedua buah hatinya

aMuslima: Kenapa tertarik mendirikan sekolah untuk fakir miskin dan tahun berapa berdiri ?

Sari: Pertanyaan yang sering ditanyakan kepadaku adalah ‘ mengapa ‘ bersedia terjun langsung ke bedeng-bedeng dan mengurusi anak-anak pemulung di wilayah kumuh seperti itu. Bila ditanyakan mengapa, maka tak lepas dari sebuah sejarah masa kecil yang akhirnya memotivasi aku untuk bersentuhan dekat dengan komunitas yang sering dipandang sebelah mata ini.

Dulu ketika aku masih kecil, sering sekali mendapatkan dongeng tentang kehidupan orang-orang miskin yang mampu membuat Sari kecil menangis tersedu-sedu. Ayah lah sosok penting yang melukiskan rasa empati di dalam benak dan hatiku. Beliau lah yang rajin mendongeng.

Tak cukup dengan mendongeng, maka setiap liburan panjang kenaikan kelas, aku dikirim untuk berlibur ke Jogja. Di sanalah aku tinggal di sebuah gubuk di pinggir sungai. Mandi memakai air sumur yang harus ditimba secara manual. Tidur di amben bambu dan tanpa lampu listrik. Lantai tanah yang sudah mengeras dan harus disapu setiap sore dan diperciki air agar adem.

Di tempat seperti itulah aku menikmati liburan hebatku. Bermain bersama anak kampung. Mencari ikan-ikan kecil di sungai. Dan pengalaman ikut mencari barang-barang bekas dari rumah-ke rumah….Orang Jogja menamakannya ‘ ngrombeng ‘ alias memulung. Hal ini sangat berbanding terbalik dengan kehidupanku yang sesungguhnya…yang diasuh oleh 4 pembantu dan diantar sopir kemana-mana.

Saat itulah aku benar-benar merasakan betapa beratnya berada di posisi mereka. Andai bisa bertukar tempat, tentu mereka ingin bisa ditakdirkan untuk dilahirkan dalam keluarga kaya yang tak harus bersusah payah mengumpulkan rongsokan sampah demi menyambung hidup.

Sejak itulah aku semakin mencintai fakir miskin. Sari kecil memiliki mimpi besar..
“ Kelak ketika aku telah dewasa dan memiliki kemampuan untuk menolong fakir miskin, aku ingin bisa mengenyangkan perut mereka, memberikan tempat berteduh agar mereka tak lagi didera hujan dan teriknya matahari, aku ingin berikan pakaian layak untuk menutupi tubuh-tubuh kumal mereka…dan aku ingin bisa mendirikan sekolah agar mereka bisa mengejar cita-cita setinggi cita-citaku dan jutaan anak-anak di luar sana “

Maka itulah azzamku dulu.

Tahun berganti tahun hingga akhirnya aku menikah di tahun 1996. Dan pada akhirnya tahun 2000 aku hijrah ke Malang, sebuah kota sejuk di Jawa Timur. Di sanalah aku mulai mewujudkan azzamku sesuai kemampuanku saat itu.

Aku mulai keliling menemui anak-anak pengemis, pengamen, gelandangan…..aku sekolahkan mereka dan tiap bulan aku keliling ke sekolah-sekolah mereka untuk membayarkan SPP serta mengetahui perkembangan akademis mereka di sekolah.

Hingga akhirnya tahun 2006 suamiku dipindahtugaskan ke Jakarta, kami pun hijrah dan menempati rumah di sebuah perumahan elite di Bekasi. Selama 2 minggu aku hanya bisa menangis sedih karena tak kujumpai tangan-tangan mungil yang tengadah. Mata-mata polos yang butuh kasih sayang. Tubuh-tubuh kumal yang amat kukasihi. Hingga aku sering membujuk suamiku untuk membawaku ke kota…hanya sekedar mecari anak-anak jalanan untuk kupeluk dan kuberikan kue-kue…Hingga akhirnya Allah mengabulkan doaku.

Pada tahun 2007 ketika terjadi banjir besar di Jakarta dan sekitarnya, aku dan teman-temanku mengunjungi sebuah panti asuhan di wilayah Bantar Gebang untuk memberikan santunan. Pulangnya kami melewati bedeng-bedeng dan bukit sampah. Saat itulah aku tersentak dan langsung jatuh cinta kepada anak-anak mungil yang sedang bermain di gundukan sampah tanpa baju yang layak dan tanpa pengawasan orangtua.

Bayi 3 bulan ini nyaris terbakar ketika orang tuanya sedang memulung
Bayi 3 bulan ini nyaris terbakar ketika orang tuanya sedang memulung

Sepulangnya suamiku dari kantor, aku langsung menceritakan ‘view‘ luar biasa yang kulihat tadi. Aku seperti menemukan sebuah jawaban yang selama 6 bulan ini kucari. Aku lalu meminta ijin kepada suamiku untuk mendirikan semacam kelompok belajar untuk anak-anak mungil ini.
“ Kamu serius ? Lalu dengan apa nanti kamu membiayai sekolah itu? “ Tanya suamiku.
“ Dengan uang belanja “ jawabku sambil tersenyum.

Keesokan harinya aku langsung survey ke Bantar Gebang dengan diantar oleh suamiku. Butuh berbulan-bulan untuk meyakinkan penduduk sekitar bahwa aku serius ingin mendirikan sekolah mungil untuk mereka. Hingga akhirnya mereka luluh dan membiarkan aku menciptakan sebuah ‘sekolah‘ dengan menumpang di sebuah musholla kardus. Begitu mereka menamakan musholla kumuh yang berdiri di tengah-tengah bedeng dan hamparan sampah itu.

Ketika survey pertama kali
Ketika survey pertama kali

Hingga akhirnya Bulan Juli 2007 resmi lah aku merintis sekolah AlFalah….di awal-awal aku mampu mendidik 60 siswa mungil berumur 3 sampai 6 tahun.

Sari mengajar di kelas berdinding kayu dan bambu, beratap seng yang bolong-bolong
Sari mengajar di kelas berdinding kayu dan bambu, beratap seng yang bolong-bolong