White Elephant

Sudah menjadi hal yang biasa bagi kami penduduk imigran untuk menghadapi teman (atau bahkan kita sendiri) yang datang dan pergi. Entah kembali ke negara masing-masing ataupun merantau lagi ke negara lain. Suatu hal yang melelahkan untuk hal yang satu ini. Melelahkan karena kita harus memulai lagi kehidupan yang baru, pekerjaan baru, sekolah (bagi anak-anak) baru, maupun lingkungan baru. Suatu saat teman saya yang akan pindah ke Kuwait mengatakan, “I feel unlucky”. “Why?” tanya saya. Jawabannya karena dia merasa sudah bosan dan letih untuk berpindah-pindah tempat. Harus mengemas barang yang tidak bisa dibilang  sedikit untuk dia yang sudah menetap selama tiga tahun.

Setiap ada kawan yang akan pindah, selalu memiliki masalah dengan urusan barang-barang yang harus dibawa, disedekahkan, atau dibuang. Hal ini juga membuat saya  tertarik untuk menghitung perabotan yang ada di rumah saya. Datang pertama kali ke Jeddah empat tahun lalu hanya membawa sekitar 4 kopor isi pakaian. Namun sekarang  apa saja yang sudah mengisi rumah saya? Sofa, meja, lemari, meja makan, kursi-kursi, tempat tidur, barang-barang elektronik, perabotan dapur, dan masih banyak lagi. Belum lagi pakaian-pakaian yang semula hanya muat dalam 4 kopor besar dan sedang, kini tidak cukup lagi ditampung di dalam lemari yang sudah tersedia. Padahal kalau kita mati tidak ada satu barangpun yang kita bawa. Betul kata orang bijak, lemari atau gudang meskipun besar atau kecil selalu penuh.

Kembali ke teman saya, dia sibuk membuang-buang mainan anak-anak yang mungkin telah rusak, kertas-kertas yang terkadang masih disimpan meskipun sudah tidak dipakai, maupun memisahkan pakaian anak-anaknya yang sudah terlalu sempit. Alat olah raga, sepeda, TV, lemari, tempat tidur banyak yang tidak bisa dibawa dan tidak sempat dijual. Pernah suatu saat teman saya ini berkata, di rumahnya banyak barang-barang yang dibeli namun jarang dipakai atau istilahnya menjadi white elephant. Akibatnya repot sendiri kalau sudah akan pindahan.

Mesti diakui saya pun sering tergiur untuk berbelanja sesuatu yang mungkin hanya merupakan keinginan dan bukan kebutuhan. Apalagi kalau sudah ada diskon di toko-toko. Baju, sepatu, tas, buku, perabotan rumah tangga yang sedang diskon sering menjadi incaran saya. Padahal kalau dilihat isi lemari, Masya Allah lemari terkadang sudah tidak bisa ditutup lagi, yang ada bukan isinya yang dikurangi, tetapi malah lemari atau kontainernya yang ditambah. Hasilnya, ruangan di rumah menjadi semakin sempit, semakin banyak barang semakin repot pula menyimpannya. Sekarang saya sudah berusaha mengendalikan keinginan membeli, saya berjanji sendiri kalau mau beli yang baru, harus mensedekahkan barang yang lama.

Pada suatu kesempatan saya mencoba menghitung “asset” rumah saya. Saya coba menghitung jumlah kerudung yang ada di dalam lemari saya. Ya Allah, sampai malu saya menyebut jumlahnya! Buat apa dengan jumlah kerudung sebanyak itu? Meskipun bukan semua saya yang beli tetapi ada juga yang dari pemberian orang lain, tetapi kenyataannya saya hanya memakai kerudung yang itu-itu saja. Memang di Saudi ini para wanita memakai abaya hitam atau warna gelap lainnya dan bukan warna warni, jadi kerudung berwarna hanya dipakai sekali-sekali, kalau ada acara perkumpulan dengan orang-orang Indonesia. Belum lagi jumlah kerudung yang sebagian saya tinggal di Indonesia, yang belum saya hitung jumlahnya.

Kalau saya mencoba mengkalkulasi barang-barang yang menjadi white elephant tadi dengan rupiah, berapa kira-kira rupiah yang bisa kita sedekahkan ke anak-anak kurang mampu, anak-anak yatim, fakir miskin, infaq masjid, dan lain-lain? Contoh kerudung tadi, bila harga satu kerudung masing-masing 10 SR (Saudi Riyal) dikalikan 50 buah menjadi 500 SR atau dikonversikan ke rupiah kira-kira menjadi sebesar Rp 1.700.000,-, kalau kursnya Rp 3400,-. Dengan uang yang telah dikeluarkan untuk membeli kerudung itu bisa digunakan untuk membantu membayar 1 bulan iuran sekolah 110 anak-anak TPA di kampung saya di pinggir Jakarta sana.

Bilal (RA) mengutarakan, Muhammad Rasulullah (SAW) bersabda kepadanya,

“Wahai Bilal, matilah dalam keadaan miskin, dan jangan mati dalam keadaan kaya.”

“Mengapa harus demikian, ya Rasulullah?” tanya Bilal.

Muhammad Rasulullah (SAW) bersabda, “Karena begitulah seharusnya, atau api neraka.” (HR Thabrani).

Orang yang meninggal dunia dalam keadaan miskin, maka ia tidak punya tanggung jawab terhadap hartanya. Terhadap kewajiban-kewajiban yang dibebankan oleh agama atas harta kekayaan yang dimiliki oleh seseorang, yakni bersedekah, menafkahi anak-anak yatim, membelanjai  para janda, dan lain sebagainya.

Seraya termenung, teman saya masih saja membereskan barang-barangnya dan memberikan barang-barang yang tidak bisa dibawa pergi Kuwait ke rumah saya. Jadi semakin banyaklah barang yang memenuhi rumah saya, yang mudah-mudahan tidak akan menjadi white elephant baru….

 

 

 

 

*modifikasi dari artikel saya yang pernah dimuat di eramuslim.