Berjilbab di Amerika Setelah Trump Terpilih

Sesaat setelah Donald Trump terpilih sebagai presiden Amerika Serikat ke-45 November 2016 lalu, banyak berita miring tentang presiden yang baru ini. Bagaimana nanti perlakuan masyarakat (Islamophobia) terhadap umat Islam di Amerika? Apakah wanita Muslim masih diperbolehkan berjilbab di Amerika setelah Trump masuk Gedung Putih? Lekat dalam ingatan, di tengah-tengah kampanyenya, Trump berencana melarang masuknya Muslim ke negeri Paman Sam ini karena menganggap Islam itu identik dengan teroris dan Islam membenci Amerika. Seperti dikutip dari beberapa media yaitu Huffington Post, Independent, nbcnews, nymag, cnn, dan masih banyak media lain yang menyebutkan kekhawatiran Muslimah Amerika berjilbab setelah Trump terpilih.

Banyak pula posting di media sosial diantaranya di twitter dari seorang gadis yang ibunya melarang dia mengenakan hijab lagi, seperti dikutip di Huffington Post, ataupun keragu-raguan para hijaber akan keamanannya bila berjalan seorang diri di kawasan umum. Sayapun sibuk bertanya via whatsap chat kepada saudara maupun kawan-kawan saya yang menetap di Amerika. Ada yang khawatir akan merebaknya hate crimes, ada pula yang masih merasa aman dan tidak mengalami pelecehan atau perlakuan buruk meskipun mengunjungi daerah-daerah mayoritas pemilih Donald Trump.

Beberapa hari setelah terpilihnya presiden Trump yang mengejutkan itu, saya bimbang untuk melanjutkan rencana perjalanan kami sekeluarga ke Amerika pada Desember 2016. Di tengah keragu-raguan itu saya putuskan untuk tidak berangkat, demi keamanan kami. Tapi suami memiliki pandangan yang lain. Alasannya kami pernah mengalami masa-masa terjadinya terorism attack 9/11 di World Trade Centre, NY dan Pentagon, VA. Pada saat itu kami tinggal di Virginia/Washington DC, kami pun pernah khawatir dengan peristiwa lain yang selalu memojokkan umat Islam, di antaranya sniper dan bioterrorism (anthrax). Lalu apa hanya karena Donald Trump menjadi presiden, keamanan kaum Muslim menjadi lebih buruk dibandingkan 16 tahun lalu?

Akhirnya kuserahkan keputusan ini kepada Allah SWT semata. Visa tetap kami ajukan, interview tetap berjalan di konsul Amerika di Jeddah. Tapi saya selalu menyelipkan doa, apabila keamanan dan keselamatan ada pada kami ya Allah, kabulkanlah permohonan visa kami ini. Namun sebaliknya bila selama kami di sana malah membahayakan iman dan nyawa, jangan Engkau kabulkan permohonan kami ya Allah, dan kami ikhlas dengan keputusan yang Engkau tetapkan, apapun itu.

Kamis kami menjalani interview, Senin kami sudah terima sms melalui telpon genggam untuk mengambil berkas dokumen dari kedutaan Amerika di Riyadh. Kamipun pasrah, dijanjikan jawaban seminggu tapi ternyata kurang dari seminggu jawaban sudah keluar. Pastilah ditolak, itu yang ada dalam pikiran kami berdua. Ketika dokumen sudah saya ambil, perlahan saya buka amplop yang berisi paspor saya. Lembar demi lembar paspor saya buka, tidak ada surat pengantar apapun di sana. Terkejut saya ketika satu halaman bertempelkan Visa USA melekat di salah satu halaman paspor! Ya Allah, saya yakin akan keputusan-Mu, kami akan AMAN.

Tanggal 17 Desember 2016, kami pun siap berangkat. Bersama dengan keluarga, kami harus bangun jam 3 pagi, untuk mengejar penerbangan pukul 6 pagi Jeddah-New York. Perjalanan yang memakan waktu 13 jam ini memang cukup melelahkan. Mendarat di airport John F. Kennedy New York pada sore hari waktu setempat. Suhu yang sangat dingin dan bersalju menyambut kedatangan kami yang berasal dari gurun pasir. Bersyukur jaket berlapis yang kami kenakan cukup menghangatkan tubuh lelah kami semua.

Imigrasi New York tidak separah yang kami bayangkan. Sebagai keluarga Muslim, kami begitu kentara karena saya berjilbab. Saya sudah siap untuk diperiksa lebih ketat. Apalagi di boarding pass saya dan suami sudah ada kode SSS (Selective Service System) yang tentunya security check terhadap kami lebih cermat. Self check in menggunakan mesin kami jalani sebagai awal dari screening masuk ke negara ini, tak diduga kami mendapat perlakuan yang baik dari semua petugas di bagian imigrasi.

Pemeriksaan yang cermat justru pada makanan kering yang kami bawa, karena saya menyiapkan lauk halal seperti teri, abon ayam, kering kentang, udang kering, dan kurma. Petugas yang memeriksa makanan kami untungnya orang China, jadi mengerti paling tidak jenis-jenis makanan Asia. Hanya perlu penjelasan lebih lanjut untuk abon yang kami bawa, karena dikira ayam mentah berbentuk bubuk hehe…., karena bahan yang belum matang dilarang masuk. Alhamdulillah semua bahan makanan yang kami bawa lolos dari pemeriksaan.

Kami pun lega dan siap melanjutkan perjalanan menuju ke hotel menggunakan taxi. Kami harus mencari taxi kuning SUV yang sanggup membawa koper-koper kami dengan 5 orang penumpang. Supir taxi pertama yang kami jumpai di New York ternyata supir Muslim. Saya bersyukur karena hari pertama kami berjalan dengan lancar. Bahkan kami bisa jalan-jalan sebentar keliling sebagian kecil kota Manhattan dan survey restoran halal dibantu supir taxi Muslim ini.

Di hotel di New York, lagi-lagi kami bertemu dengan pegawai Bangladesh Muslim. Saat pertama kami datang, pegawai hotel ini begitu baiknya karena istrinya pun berjilbab tapi tinggal di Bangladesh, bahkan beliau memberi kami roti-roti halal sebagai makanan pengganjal perut lapar kami malam itu.

Perjalanan dua minggu selama di Amerika begitu singkat namun mengesankan. Memang tidak banyak wanita berjilbab yang saya temui selama kami mengunjungi negara bagian New York, Washington DC, Maryland, Virginia, dan California. Tetapi paling tidak saya sering dipertemukan dengan supir taxi dan pegawai hotel yang Muslim. Bahkan saya masih bisa merasakan perlakuan yang sangat baik dari warga non-Muslim disana. Catatan kecil saja buat para jilbaber untuk tidak menggunakan pin/broch di kain jilbab, terutama pin di atas kepala karena pemeriksaan menjadi lebih lama.

Terimakasih ya Allah atas jawaban doa kami selama ini.