Catatan Haji Mukimin Indonesia di Saudi (1): Arafah dan Muzdalifah

Sebagai warga Indonesia yang tinggal di Saudi, kami memang diberi kemudahan untuk tidak terlalu lama menunggu giliran melaksanakan ibadah haji. Walaupun demikian, peraturan resminya pergi berhaji hanya boleh dilakukan 5 tahun sekali. Hal ini untuk mencegah kemungkinan orang pergi berhaji tiap tahun dan tidak memberi kesempatan umat Muslim dari negara lain memenuhi panggilan-Nya menjalankan rukun Islam yang ke-5 ini.

Bila dibandingkan dengan umat Muslim dari seluruh dunia yang umumnya sudah harus berada di tanah suci beberapa hari atau bahkan beberapa minggu sebelum tanggal wuquf, kami cukup berangkat paling tidak tanggal 7 atau 8 Dhulhijjah sehingga total waktu ibadah rukun dan wajib hajinya sekitar 5 sampai 6 hari.

Tahun 2016 ini alhamdulillah saya diberi kesempatan untuk mengantarkan putri saya berhaji. Saya bergabung dengan grup haji dari Islamic Education Foundation Centre Jeddah. Grup ini diperuntukkan bagi warga asing yang bermukim di wilayah Jeddah dan sekitarnya yang tidak menggunakan Bahasa Arab sebagai bahasa komunikasi sehari-hari.

Islamic Center di Saudi umumnya melakukan biaya subsidi silang. Bagi Muslim yang mampu, diminta membayar biaya sekitar SR 2000 hingga SR 13.000 sesuai dengan grup yang diikuti. Bagi muallaf atau pemeluk agama Islam baru, akan dibebaskan dari biaya apapun alias gratis.

Jumat, 7 Dhulhijjah 1437

Kami berkumpul pada tanggal 7 Dhulhijjah malam di gedung pertemuan Palestine Street. Kartu dan gelang kertas tanda pengenal yang harus kami kenakan selama berhaji, dibagikan saat keberangkatan. Termasuk informasi nomor bus, nomor kamar, dan nomor tempat tidur di Mina. Kami berkumpul bersama dengan seluruh tamu haji dari agen yang sama.

Setelah sholat maghrib, sholat isha, dan makan malam berupa kotak isi beberapa roti sandwich dan makanan ringan, kami mulai masuk ke bus sesuai dengan pembagian yang tertera pada kalung kartu pengenal. Bus no 47 adalah bus kami yang langsung menuju ke Mina. Ada beberapa jama’ah yang memilih untuk menuju ke Haram dulu untuk melaksanakan tawaf qudum dan sa’i. Sementara saya dan putri saya memilih langsung beristirahat di Mina dan tidak menjalankan tawaf qudum yang memang sunnah.

Niat menjalankan ibadah haji dilafadzkan boleh dari saat berangkat dari rumah atau bersama-sama di bus saat kendaraan mulai bergerak. Niat ini sekaligus menetapkan haji yang akan dijalankan itu apakah haji tamattu (niat umroh dan haji terpisah serta menyembelih hewan/hadyu), qiran (niat umroh dan haji disatukan plus menyembelih hewan/hadyu), atau ifrad (niat haji saja tanpa menyembelih hewan/hadyu). Bila kita berhaji atas nama orang lain/badal ada tambahan niatnya yaitu dengan menyebut nama orang yang akan kita badalkan.

Pukul 9 malam bus sudah mulai berjalan kami terus melantunkan talbiyah berulang-ulang dengan khusyu’ dan sepenuh hati, meluruskan niat, melapangkan pikiran, dan memasrahkan jiwa ini hanya untuk beribadah kepada-Nya.

Labbaik Allahumma labbaik…labbaik ala syarikalaka labaik…innal hamda wanni’mata..laka wal mulk laa syariikalak….

Sebelum memasuki Mekkah ada pemeriksaan dokumen seluruh jama’ah. Kira-kira 3 kali berhenti dan pemeriksaan oleh polisi yang alhamdulillah dapat kami lewati tanpa hambatan. Perjalanan menuju Mina  lebih lama dari rencana yaitu total sekitar 4 jam karena disamping adanya pemeriksaan yang ketat sehingga kami harus menunggu, juga karena ada kecelakaan yang menyebabkan beberapa jalan ditutup. Kami baru tiba di Mina sekitar pukul 1 malam. Setelah barang-barang diturunkan dan masuk ke kamar masing-masing, jama’ah dipersilakan untuk makan malam.

Sabtu, 8 Dhulhijjah 1437

Kami tinggal di sebuah penginapan di Mina sebagai base camp selama berhaji. Saya dan putri saya ditempatkan di ruang 1109, bersama dengan jama’ah lain warga negara Pakistan, Palestina, Amerika, Inggris, Uzbekistan, dan Kyrgyzstan, Subhanallah. Total per kamar terdiri dari 14-15 jamaah, dengan dua kamar mandi dan dua WC. Tanggal 8 ini adalah hari tarwiyah, kami melaksanakan sholat wajib qasar tetapi tidak di jama’ (disatukan), dan dianjurkan terus berdzikir dan bertalbiyah sebagai persiapan mental dan fisik menjalankan rukun haji keesokan harinya.

Pada saat ini kami sudah berihram, sehingga hal-hal yang dilarang selama ihram harus dipatuhi. Diantaranya dilarang memakai wangi-wangian termasuk sabun, shampo, dan pasta gigi yang mengandung wewangian atau alkohol. Sebagai pengganti pasta gigi, kami mendapat siwak seorang satu. Terus terang saya tidak pernah menggunakan siwak meskipun sudah tinggal lama di Saudi, jadi harus bertanya ke  salah seorang teman cara memakainya. Ternyata…. ujung dari batang kayu itu digigit dan dikupas hingga bagian dalamnya membentuk seperti serat sikat gigi, lalu kita menyikat gigi dengan kayu siwak itu. Rasanya? aneh memang kalau baru pertama kali 🙂

Ahad, 9 Dhulhijjah 1437

Setelah cukup istirahat seharian pada hari tarwiyah, pagi tanggal 9 Dhulhijjah setelah sarapan di Mina, kami berjalan menuju stasiun kereta untuk wuquf di Arafah. Antre yang panjang untuk masuk ke dalam kereta memang memerlukan perjuangan. Apalagi tidak ingin terpisah dari grup sehingga harus siap berdesak-desakan. Dari Mina menuju Arafah sebenarnya hanya membutuhkan waktu kurang dari 30 menit. Setelah tiba di Arafah, kami berjalan menuju ke tenda khusus wanita yang sudah disediakan.

Beberapa tahun lalu ketika saya ikut berhaji yang diselenggarakan grup Malaysia atau Indonesia, kami ditempatkan di tenda kecil yang bersebelahan antara laki-laki dan perempuan tanpa AC. Namun tenda Arafah ini dibangun seperti setengah permanen, seperti berada dalam aula besar yang memuat sekitar 150 jama’ah dan disediakan sofa bed serta kamar mandi di luar dalam jumlah banyak.

Kami tiba di Arafah sekitar pukul 9.45 pagi dan dianjurkan untuk beristirahat dan makan makanan ringan sebelum sholat dhuhur dan ashar berjama’ah. Setelah adzan dhuhur, kami melaksanakan sholat dhuhur dan ashar qasar dan jama’. Makan siangpun disediakan baik buffet maupun makanan nasi Arab yang dikemas dalam porsi besar, yang menurut ukuran saya bisa dimakan untuk 4 orang!

Setelah makan siang dan sholat berjama’ah, tibalah saatnya kami berdoa memohon ampun, memohon agar Allah SWT mengabulkan permintaan baik urusan dunia maupun akhirat. Karena pada saat doa di Arafah inilah doa yang mustajab, doa yang in shaa Allah dikabulkan. Berdoa untuk diberikan anak keturunan yang selalu berjuang di jalan Allah SWT, yang sholeh sholehah, yang menjadikan kami semua husnul khotimah. Itulah diantara rentetan doa yang kami panjatkan.

Doa bersama pun dikumandangkan oleh ulama grup, peristiwa yang tidak mungkin kami lupakan. Airmata menetes, menangis, terisak, semua jama’ah khusyu’ terus berdoa dan berdzikir tak putus-putusnya karena tidak ingin melewatkan masa-masa yang penting ini. Ibarat haji itu adalah Arafah, tanpa Arafah hajinya tidak sah.

Hingga saat matahari terbenam, kami masih diminta untuk tetap tinggal di tenda, menjalankan sholat maghrib dan isha (qasar dan jama’). Hingga pukul 10 malam kami baru berangkat meninggalkan Arafah untuk menghindari kepadatan kereta yang menuju Muzdalifah.

Sekitar pukul 11 malam kami tiba di Muzdalifah, menggelar kasur tipis yang sudah disediakan. Tidur beralaskan kasur tipis dan bantal di lapangan terbuka. Menatap langit hitam bercahayakan bintang-bintang, memuji kebesaran ciptaan-Nya sambil menyambut hari Idul Adha keesokan harinya tentu menjadi kenikmatan yang luar biasa. Kamipun tertidur dengan pulasnya.