Catatan Haji Mukimin Indonesia di Saudi (2): Mina

Senin, 10 Dhulhijjah 1437

Sebelum meninggalkan Muzdalifah, tidak lupa kami harus mengumpulkan 7 batu kerikil untuk lempar jumroh Aqabah. Bagi jamaah yang lemah/tua, wanita, maupun anak-anak, dipersilakan untuk meninggalkan Muzdalifah menuju Mina lebih awal tanpa menunggu fajar. Sementara bagi jama’ah laki-laki atau yang lebih kuat disunnahkan menunggu hingga sholat fajar tiba. Setelah sholat fajar pukul 4.30 pagi, kami bersiap berjalan ke stasiun menuju Mina untuk lempar jumroh Aqobah.

Kepadatan jama’ah di stasiun membuat kami baru tiba di jamarat sekitar pukul 8 pagi. Polisi-polisi banyak yang membantu kami mengipas-ngipas jama’ah dengan sobekan kertas karton, ataupun menyemprotkan air dingin ke wajah-wajah kami yang sudah bersimbah peluh. Bagi jama’ah yang tua atau sakit disediakan lift menuju peron stasiun tanpa melewati tangga yang penuh sesak. Namun secara keseluruhan kami semua dalam kondisi sabar, menghormati jama’ah lain dan tidak saling mendorong saat menuju stasiun.

20160912_063626
Polisi membantu jama’ah yang lemah di pintu lift

Lempar jumroh memang merupakan jihad yang menurut saya paling berat. Kami yang berbadan mungil harus siap berdesakan dengan orang-orang dari berbagai negara dengan badan yang lebih besar. Paling aman adalah bergandengan kuat dengan 1 atau 2 orang dan menembus desakan jama’ah bersama-sama hingga posisi terdekat dari jamarat. Bila kita terjebak untuk melempar batu dari jarak 2 m atau lebih, saya khawatir lemparan saya tidak masuk ke lubang jamarat.

Dengan mengucapkan Allahu Akbar, kami melempar satu persatu kerikil ke dalam lubang Aqabah, jamarat yang paling besar dan terdekat dengan Haram. Setelah selesai lempar jumroh pertama, kami berkumpul dengan grup dan siap kembali menuju penginapan di Mina.

Lempar jumroh Aqobah
Lempar jumroh Aqobah

Alhamdulillah lokasi penginapan kami tidak jauh dari jamarat sehingga bisa dilakukan dengan berjalan kaki. Namun hari itu jalan pintas masih ditutup, sehingga kami harus melalui jalan yang cukup panjang. Menyamai langkah pemimpin grup yang begitu cepat tentu membuat jama’ah harus sedikit berlari. Panas yang mulai menyengat membuat kami kehausan. Persediaan air minum dalam tas sudah habis. Untung disediakan pos-pos keran air minum, dan saya meminta pemimpin grup untuk berhenti sebentar supaya semua bisa minum dan mengisi botol air yang sudah kosong.

Setelah tiba di penginapan di Mina, kami baru menyadari bahwa ada 2 orang kawan dalam grup yang belum sampai di Mina dan tertinggal. Rupanya karena mereka sambil ngobrol, mereka salah arah dan harus bertanya-tanya ke beberapa polisi, sampai akhirnya ada polisi yang berbaik hati mau mengantarkan mereka ke penginapan. Alhamdulillah!

Tanggal 10 Dhulhijjah, lepas sudah larangan ihram ini. Kami sudah boleh menggunakan wewangian, mencukur, dan menggunting rambut (tahalul) sebagai tanda akhir ihram. Kami merayakan Ied di Mina. Makanan buffet dan cake disediakan di penginapan, bahkan ada grup yang merayakan hari raya dengan menari tentu saja semuanya wanita, menikmati kebersamaan sebagai saudara seiman. Semua sholat wajib dilaksanakan dengan qasar tanpa dijama’. Siraman rohani dilakukan paling tidak 1 hingga 2 kali sehari. Malamnya mabid/bermalam di Mina kami jalankan di penginapan.

Selasa, 11 Dhulhijjah 1437

Lempar 3 jumroh akan dilakukan selepas ashar yaitu jumroh Sughro/Ula, Wustho, dan Aqobah, masing-masing 7 kerikil, kerikil ini bisa dikumpulkan dari lokasi Mina. Waktu melempar jumroh ini adalah setelah matahari condong ke barat dan rentang waktunya cukup panjang, yaitu hingga sebelum maghrib (sebagai kehati-hatian). Sementara diperbolehkan waktu malam bagi orang-orang yang lemah.

Kami berangkat menuju jamarat setelah ashar, untuk mengurangi kepadatan dan terik matahari yang menyengat. Alhamdulillah 3 lempar jumroh di hari tasyrik ini dimudahkan Allah SWT.

Rabu, 12 Dhulhijjah 1437

Kami memutuskan untuk mengakhiri haji pada tanggal 12 Dhulhijjah (nafar awal). Hal yang harus kami kerjakan adalah lempar 3 jumroh dan tawaf ifadah (sekaligus wada) serta sa’i. Untuk mempercepat waktu dan menghitung jam kemungkinan kami harus segera meninggalkan Mina, kami berkumpul menuju jamarat pada pukul 12.15 siang. Saat adzan dhuhur berkumandang, kami segera berjalan menuju jamarat.

Di sana rupanya sudah banyak jama’ah yang berkumpul dan berdesak-desakan. Putri saya hampir pingsan di tengah kumpulan banyak orang tanpa cukup menghirup udara segar, saya kuatkan dia bahwa dia bisa melakukannya! Saya khawatir kalau saya tidak kuat menahan dia karena saya tidak pergi dengan suami. Saya minta salah seorang jama’ah dalam grup membantu saya mengapit lengan saya sehingga kami sanggup menerobos kerumunan manusia hingga jamarat terdekat. Allahu Akbar, Allahu Akbar,…..7 kerikil pertama satu per satu tuntas kami lempar. Kami bergegas keluar menjauhi area jamarat Ula.

Saya minta putri saya untuk beristirahat sambil berdoa agar kami semua diberi kekuatan untuk melewati 2 ibadah jamarat lagi. Sambil makan makanan manis dan minum air yang ada dalam tas, akhirnya putri saya tidak terlalu nampak pucat dan siap berjihad lagi.

Lempar jumroh di Wustho dan Aqabah tidak jauh berbeda. Semua masih berdesak-desakan. Perkiraan saya waktu berangkat agar lebih baik mendekati dhuhur ternyata juga dilakukan oleh ribuan jama’ah lain. Namun inilah haji, semua adalah jihad, harus pasrah akan ketentuan Allah, apapun yang terjadi. Dengan kekuatan yang tersisa, alhamdulillah kami bisa melewatinya dan berjalan kembali menuju penginapan di Mina.

Kami beristirahat sebentar, sholat dhuhur qasar, dan berkemas untuk meninggalkan Mina. Bila kami tidak meninggalkan Mina sebelum maghrib, berarti kami harus tinggal semalam lagi hingga tanggal 13 Dhulhijjah dan melempar 3 jumroh lagi.

Begitu banyak jama’ah yang rupanya akan meninggalkan Mina dan menuju Haram di tanggal 12 Dhulhijjah, sehingga kami harus menunggu antrean bus menuju Haram. Kami baru bisa meninggalkan penginapan pada pukul 17.00 dan menuju terminal Mashuthoh Mekkah karena bus tidak bisa mendekati Masjidil Haram. Kami melanjutkan perjalanan dengan bus Saptco menuju Masjidil Haram.

Waktu yang disediakan oleh penyelenggara kami adalah sekitar 4 jam, sehingga saya harus bergegas menuju masjid dan melaksanakan sholat ashar yang belum sempat saya lakukan di Mina. Semua teman-teman dalam 1 grup sudah berjalan terpisah-pisah. Putri saya pun tidak bisa melaksanakan thawaf ifadahnya karena berhalangan dan harus menunggu di luar area masjid.

Saya berdoa semoga saya diberi kemudahan menjalani thawaf yang tidak terputus, apalagi di tengah padatnya arus manusia. Kalau batal wudhunya, otomatis saya harus wudhu lagi dan memulai thawaf dari awal. Saya tidak dapat tempat di lantai bawah yang terdekat dengan ka’bah. Jalan menuju area thawaf yang paling bawah sudah ditutup. Saya pasrah naik escalator menuju lokasi thawaf lantai 1 yang lingkarannya lebih luas.

Pukul 18.10 saya baru menyelesaikan 2 putaran thawaf, sementara adzan maghrib pukul 18.30. Tanpa berhenti berdzikir saya terus berusaha mempercepat langkah agar dapat menyelesaikan thawaf dan sa’i tidak lebih dari 4 jam. Apalagi saya baru pertama kali meninggalkan putri saya di luar sendirian. Meskipun kini dia sudah berusia 17 tahun, tapi kekhawatiran hilang tetap saja ada.

Di tengah thawaf, saya istirahat sekaligus menjalankan sholat maghrib dan sholat isha pada saat saya menjalankan sa’i. Baru sekitar pukul 20.30 saya bisa selesaikan semua ibadah haji ini. Saya bersyukur saya bisa mengalahkan rasa takut menjalankannya seorang diri, lepas dari grup di tengah keramaian bulan haji.

Saya meminta salah seorang kawan saya untuk menunggu kami hingga dapat bersama kembali ke terminal bus. Bila pergi sendiri ke terminal bus, saya khawatir sulit menemukan bus umum yang kosong dan tidak dapat menemukan bus yang membawa kami ke Jeddah karena begitu banyak deretan bus yang diparkir di sana. Ternyata benar dugaan saya, bus umum Saptco sulit didapat. Kami berlari mendekati bus yang baru datang, tetapi setiap kali pintu bus terbuka selalu cepat dipenuhi penumpang. Hingga akhirnya kami putuskan untuk berjalan kaki dan melompat pagar pembatas jalan, namun di saat kami sudah merasa pasrah, ternyata ada bus yang berhenti di samping kami dan pintu busnya terbuka, alhamdulillah kami bisa melompat masuk ke dalam bus dan dapat tempat duduk!

Kami turun di terminal Mashuthoh yang tidak jauh dari lokasi Masjidil Haram dan segera mencari bus rombongan kami yaitu no 35 yang akan membawa kami ke Jeddah. Ternyata kami bukan penumpang terakhir yang ditunggu. Meskipun sebagian tempat duduk dalam bus sudah terisi, namun masih ada beberapa penumpang lain yang belum datang. Lelah kami terbayar sudah, hingga pukul 10 malam kami menunggu dan akhirnya bus berjalan….kamipun bisa meninggalkan Mekkah menuju Jeddah.

Banyak hikmah yang diperoleh dari setiap ibadah yang dijalankan. Teguran Allah bisa sampai ke kita secara langsung maupun melalui orang lain, melalui ceramah atau perbuatan yang mungkin ditujukan kepada kita agar dapat menjadi pribadi yang lebih baik. Memulai kehidupan yang baru dengan lembaran yang baru. Tergantung kita apa yang akan kita isi dari lembaran baru tersebut.

Semoga kita semua husnul khotimah dan amal haji kita diterima Allah SWT. Aamiin yra.