Mengunjungi Pengungsi Palestina dan Suriah (Bagian 2)

Al- Za’tari Syrian Refugee Camp

Keesokan paginya, tanggal 20 September, kami bertolak ke Durra Border Crossing dari Tabuk dengan jarak tempuh kurang lebih 250 km. Di Durra Border Crossing kami membutuhkan waktu hingga 1 jam untuk mengurus visa dan surat asuransi kendaraan. Karena kami pemegang passport Indonesia, visa on arrival bisa didapat. Sempat  pula dicek oleh petugas, apa isi kardus–kardus yang kami bawa. Kami tunjukkan ke mereka bahwa itu adalah barang–barang yang akan dibawa untuk para pengungsi Palestina dan Suriah.

Welcome to Jordan
Welcome to Jordan

Setelah melewati Durra Border Crossing di Jordan, kami bergerak menuju Petra untuk bermalam di sana dengan jarak tempuh sekitar 150 km. Perjalanan ke Petra agak berbeda karena jalannya berliku–liku dengan posisi daratan yang makin tinggi. Pemandangan seperti halnya gurun sahara tapi masih disertai sedikit pepohonan khas Jordan.

Berpose di Petra
Berpose di Petra

Walaupun tahun lalu kami sudah ke Petra tapi kami kembali lagi untuk menikmati udara sejuk Petra dan membeli souvenir khas Petra yaitu botol berisi pasir yang diambil dari tanah Petra dengan dibuat gambar–gambar khas Petra di dalamnya. It is so artistic, isn’t it?

Souvenir khas, pasir dalam botol
Souvenir khas, pasir dalam botol

21 September, perjalanan belum selesai sampai disini. Kami bergerak menuju Amman (ibukota Jordan) untuk bermalam selama 4 malam dengan menempuh jarak 250 km. Di sini saya sudah bisa bergantian menyetir dengan suami karena hanya di Saudi Arabia saja perempuan tidak boleh menyetir. Namun demikian, mengingat cara berkendara para lelaki di Saudi, saya bersyukur para perempuan tidak diperbolehkan menyetir karena entah bakal berapa banyak kecelakaan yang akan terjadi bila kaum wanita di Saudi diijinkan mengendarai mobil. *Na’udzubillahi mindzalik..

Saya menikmati nyetir di Jordan
Saya menikmati nyetir di Jordan

Setibanya di Amman kami keliling kota sejenak untuk melihat–lihat situasi kota sembari rileks, menikmati keindahan Amman, sambil mencari tahu kemana kami akan melabuhkan bantuan yang kami bawa untuk para pengungsi. Ternyata ada juga Jakarta St. di Amman… Wah! Nama ibukota negeriku tercinta!

Jakarta St. di Jordan
Jakarta St. di Jordan

Keesokan harinya pada tanggal 22 September, dengan membaca Basmalah, kami berangkat menuju kota Baqa’a dimana menurut informasi yang kami dapat, banyak pengungsi Palestina berada di kota ini. Setibanya di Baqa’a kami berkeliling untuk mencari kamp pengungsi. Setelah 1 jam berkeliling, kami tidak menemukan kamp satu pun. Di sana banyak terlihat wajah–wajah bangsa Palestina dengan bangunan–bangunan permanen semacam rumah pada umumnya. Ternyata, selama 20 tahun mereka sudah mengungsi dari negaranya ke kota Baqa’a ini dan sudah settle dengan kehidupan mereka di sini, Alhamdulillah. Menurut informasi, keturunan Palestina yang sudah menetap di Baqa’a ini diberikan dua pilihan. Pilihan pertama yaitu full citizenship Jordan dengan syarat bila negara asal sudah tidak ada perang atau konflik, mereka tetap harus berada di Jordan. Pilihan kedua, half citizen, dimana mereka boleh kembali ke negara asal mereka bila keadaan sudah aman. Kebanyakan dari mereka memilih full citizenship Jordan. Many thanks to Jordan that has made them save in the country.

Pada 23 September, dengan niat sepenuh hati dapat menyalurkan barang–barang tersebut, kami sekeluarga berangkat ke Al- Za’tari Syrian Refugee Camp yang berada di kota Mafraq, Jordan sekitar 70 km dari Amman. Di kota Mafraq ini, dekat dengan perbatasan Jordan- Suriah dan Jordan-Iraq. Kami terus berdoa selama perjalanan agar kami berhasil memasuki kamp tersebut, terlihat juga banyak tenda pengungsi di kota Mafraq ini.

Menuju
Menuju ke Al Mafraq

 

Berpose di Amman
Narsis sambil melepas lelah

 

Papan nama
Papan nama dekat kamp

Setibanya di gerbang luar Al- Za’tari Syrian Refugee Camp, banyak orang lalu lalang antara yang masuk dan keluar gerbang, dan banyak tentara penjaga disertai satu buah tank. Dengan perlahan, kami menyusuri pinggir gerbang. Salah satu tentara menghampiri kami sambil bertanya dalam Bahasa Arab ‘mau apa ke sini dan dari institusi mana.’ Ternyata mereka meminta tasreh (surat keterangan) dari kepolisian Amman sedangkan kami tidak memegang tasreh tersebut, akhirnya….. mereka tidak memperbolehkan kami masuk.

Menuju ke kamp
Menuju ke kamp

Tidak berputus asa, kami mencoba mencari jalan lain untuk masuk ke dalam kamp. Tapi ternyata di setiap ujung jalan selalu ada tentara lengkap dengan tanknya, kami pun berbalik arah karena kami tidak mau mencari masalah. Pada saat kami kebingungan mencari cara untuk masuk ke dalam kamp, ada 2 orang anak pengungsi yang menghampiri dengan berbicara antara Bahasa Inggris seadanya dan Bahasa Arab yang  sangat lancar tentunya. Mereka bernama Taher (sekitar 15 – 16 tahun) dan Muhammad (sekitar 8 – 9 tahun). Kami salut dengan kemauannya untuk berbicara dengan kami dan ingin menunjukkan jalan untuk masuk ke kamp tanpa adanya tentara di situ. Kami sempat ragu apakah aman dengan cara seperti itu karena bila terjadi sesuatu, pemerintah Jordan tidak akan bertanggung jawab karena kami melanggar persyaratan memiliki tasreh untuk masuk ke dalam kamp. Kamipun memutuskan untuk tidak bertindak nekad.

Kamp pengungsi tampak kejauhan
Kamp pengungsi tampak kejauhan

Kedua bocah ini meminta susu yang kami bawa yang ternyata sudah mereka perhatikan saat kami di depan gerbang kamp sewaktu tentara memeriksa barang–barang yang kami bawa. Kami pun memberikan susu plus sedikit uang JD (Jordan Dinar) kepadanya.

Taher dan Abdullah
Taher dan Muhammad

Sempat kami menunggu mobil UNHCR yang akan masuk ke dalam kamp dengan harapan dapat menitipkan barang–barang tersebut. Namun sayang penantian kami tak membuahkan hasil pada hari itu. Dengan perasaan kecewa karena kami tidak dapat masuk kamp, kami kembali ke Amman untuk mampir ke kantor UNHCR cabang Amman dengan harapan dapat menyalurkan barang–barang yang kami bawa melalui perwakilan PBB ini. Untuk kedua kalinya kami kecewa karena kantor UNHCR sudah tutup lebih cepat dari biasanya karena bertepatan dengan waktu menjelang Idul Adha, sementara tasreh pun tidak kami dapatkan disebabkan alasan yang sama dengan kantor UNHCR. Kami pun pulang sambil berpikir bagaimana caranya kami dapat menyerahkan bantuan yang kami bawa esok hari.