Ucapan Selamat Natal, Ada Beda Pendapat?

Sebagian aktivis dakwah berdalil bahwasanya ucapan selamat natal pada non muslim itu sah-sah saja atau boleh karena terdapat khilaf di antara para ulama. Kata mereka, ada ulama yang membolehkan, ada yang melarang. Padahal beda pendapat seperti ini tidak bisa diterima karena beda pendapat tersebut datang setelah adanya ijma’ (kesepakatan ulama) di masa silam. Sehingga berdalil untuk khilaf (beda pendapat) ulama saat ini dengan alasan kita saling tolerir jika ada beda pendapat dalam masalah fikih, sungguh keliru. Karena ijma’ ulama masa silam bisalah batal jika ada ulama semasanya atau sebelumnya yang menyelisihi ijma’ tersebut, bukan dengan alasan pendapat ulama saat ini.

Masalah Khilafiyah, Benarkah Tidak Perlu Diingkari?

Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata, “Jika ada yang mengatakan bahwa masalah khilaf tidak perlu diingkari, maka itu tidaklah benar jika melihat dari sisi ucapan yang dihukumi atau amalan.

Jika ada ucapan yang menyelisihi ajaran Rasul atau menyelisihi ijma’ (kesepakatan para ulama), maka wajib mengingkarinya.

Jika masalah tersebut tidak disepakati, maka boleh mengingkari untuk menjelaskan bahwa pendapat tersebut lemah dan menyebutkan pendapat yang benar dari ulama salaf atau para fuqoha’.

Adapun jika ada amalan yang menyelisihi ajaran Rasul atau menyelisihi ijma’, maka wajib mengingkarinya tergantung pada bentuk kemungkarannya. …

Adapun jika dalam suatu permasalahan tidak ditunjukkan dalil yang tegas, juga tidak ada ijma’, maka berijtihad ketika itu dibolehkan dan tidak perlu orang yang berijtihad dan yang mengikuti diingkari dengan keras. … Dalam masalah ijtihad ini selama tidak ada dalil yang tegas tidak perlu sampai mencela para mujtahid yang menyelisihinya seperti dalam permasalahan yang masih diselisihi para salaf.” (Majmu’ Al Fatawa, 9: 112-113).

Dalam Ucapan Selamat Natal, Ada Ijma’ Akan Haramnya

Sedangkan untuk masalah ucapan selamat natal pada non muslim sudah ada ijma’ di masa silam. Seperti dari perkataan Ibnul Qayyim.

Ibnul Qayyim berkata,

وأما التهنئة بشعائر الكفر المختصة به فحرام بالاتفاق

“Adapun memberi ucapan selamat pada syi’ar-syi’ar kekufuran yang khusus bagi orang-orang kafir (seperti mengucapkan selamat natal, pen) adalah sesuatu yang diharamkan berdasarkan ijma’ (kesepakatan) para ulama.” Inilah yang beliau sebutkan dalam Ahkam Ahli Dzimmah.

Ucapan selamat natal pun termasuk bentuk loyal pada non muslim. Bentuk loyal pada non muslim pun dilarang berdasarkan ijma’ (kesepakatan para ulama). Kesepatan ijma’ ini di antaranya dinukil oleh Ibnu Hazm dalam Al Muhalla, 11: 138.

Sebagaimana dinukil oleh Ibnul Qayyim, para sahabat melarang kita mendekati peribahan dan perayaan non muslim. Kok malah ada yang dekati dengan mengucapkan selamat?

Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, “Tidak boleh kaum muslimin menghadiri perayaan non muslim dengan sepakat para ulama. Hal ini telah ditegaskan oleh para fuqoha dalam kitab-kitab mereka. Diriwayatkan oleh Al Baihaqi dengan sanad yang shahih dari ‘Umar bin Al Khottob radhiyallahu ‘anhu, ia berkata,

لا تدخلوا على المشركين في كنائسهم يوم عيدهم فإن السخطة تنزل عليهم

“Janganlah kalian masuk pada non muslim di gereja-gereja mereka saat perayaan mereka. Karena saat itu sedang turun murka Allah.”

Umar berkata,

اجتنبوا أعداء الله في أعيادهم

“Jauhilah musuh-musuh Allah di perayaan mereka.”

Demikian apa yang disebutkan oleh Ibnul Qayyim dalam Ahkam Ahli Dzimmah, 1: 723-724.

Dan tidak diketahui ada sahabat Nabi lainnya, yang menyelisihi pendapat Umar bin Khottob.

Jadi jika ada sebagian aktivis dakwah mengatakan bahwa kalau di negara plural seperti Indonesia, yah jangan pakai fatwa ulama Saudi yang semua warganya Muslim. Alasan seperti ini jelas tanda orang yang tidak berilmu dan tidak paham ijma’.

Kalau dikatakan para ulama sepakat, maka itu berarti ijma’. Dan umat tidak mungkin bersepakat dalam kesesatan, sehingga menyelisihi ijma’ itulah yang terkena klaim sesat. Sebagaimana Allah Ta’ala berfirman,

وَمَنْ يُشَاقِقِ الرَّسُولَ مِنْ بَعْدِ مَا تَبَيَّنَ لَهُ الْهُدَى وَيَتَّبِعْ غَيْرَ سَبِيلِ الْمُؤْمِنِينَ نُوَلِّهِ مَا تَوَلَّى وَنُصْلِهِ جَهَنَّمَ وَسَاءَتْ مَصِيرًا

“Dan barangsiapa yang menentang Rasul sesudah jelas kebenaran baginya, dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mu’min, Kami biarkan ia leluasa terhadap kesesatan yang telah dikuasainya itu dan Kami masukkan ia ke dalam Jahannam, dan Jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali.”(QS. An Nisa’: 115). Jalan orang-orang mukmin inilah ijma’ (kesepakatan) ulama kaum muslimin.

Jika ada ulama belakangan semacam Syaikh Yusuf Qardhawi yang menyelisihi ijma’ dengan membolehkan ucapan selamat natal, maka fatwa beliau adalah fatwa yang keliru.

Masalah Khilafiyah Ada Dua

Sebagaimana kita bisa simpulkan dari penjelasan Ibnu Taimiyah, masalah khilafiyah (beda pendapat) itu ada dua:
1. Masalah yang sudah ada nash (dalil tegas) dari Al Qur’an, hadits dan tidak bisa ditentang, juga terdapat pendukung dari ijma’ (kesepakatan para ulama). Jika dalam masalah ini ada orang yang berpendapat keliru yang datang belakangan dan menyelisihi ijma’ atau menyelisihi qiyas jalii, maka masalah semacam ini boleh diingkari karena menyelisihi dalil.
2. Masalah yang tidak ada nash (dalil tegas) dari Al Qur’an, hadits, ijma’, atau qiyas jalii atau terdapat hadits yang mendukung, akan tetapi diperselisihkan tentang keshahihan hadits tersebut atau hadits tersebut tidak jelas menjelaskan hukum dan bisa dimaknai dengan berbagai pernafsiran. Untuk masalah kedua, perlu adanya ijtihad dan penelitian mendalam tentang hukumnya.

Ibnu Taimiyah berkata, “Masalah ijtihadiyah seperti ini tidak boleh diingkari dengan tangan. Dan tidak boleh seorang pun memaksa untuk mengikuti pendapatnya. Akan tetapi yang dilakukan adalah sampaikanlah hujjah dengan alasan ilmiah. Jika telah terang salah satu dari dua pendapat yang diperselisihkan, ikutilah. Namun untuk pendapat yang lain tidak perlu diingkari (dengan keras).” (Majmu’ Al Fatawa, 30: 80)

Contoh Masalah Khilafiyah

Masalah khilafiyah yang sudah ada nash tegas di dalamnya yang masuk dalam kategori pertama di atas yang jelas menyelisihi dalil dan patut diingkari seperti:

1. Mengingkari sifat-sifat Allah yang Allah telah memujinya sendiri dan telah ditetapkan pula oleh Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam. Pengingkaran semacam ini bisa jadi dalam bentuk takwil yaitu memalingkan dari makna sebenarnya yang tidak sejalan dengan Al Qur’an dan hadits.
2. Mengingkari kejadian-kejadian di masa mendatang seperti tanda-tanda kiamat yang telah dikabarkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Contohnya mengingkari munculnya Dajjal dan turunnya Nabi Isa di akhir zaman.
3. Bolehnya memanfaatkan riba bank padahal riba telah jelas diharamkan.
4. Membolehkan nikah tanpa wali.
5. Membolehkan alat musik padahal termasuk kemungkaran sebagai disebutkan dalam dalil Al Qur’an dan hadits. Bahkan para ulama empat madzhab telah sepakat akan haramnya. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah mengatakan,

وَلَمْ يَذْكُرْ أَحَدٌ مِنْ أَتْبَاعِ الْأَئِمَّةِ فِي آلَاتِ اللَّهْوِ نِزَاعًا

“Tidak ada satu pun dari empat ulama madzhab yang berselisih pendapat mengenai haramnya alat musik.” (Majmu’ Al Fatawa, 11: 576-577)

6. Menyatakan tidak dianjurkan shalat istisqo’ (minta hujan) padahal telah terdapat dalil dalam Bukhari dan Muslim, juga yang lainnya yang menunjukkan perbuatan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallamm dan para sahabatnya untuk melaksanakan shalat tersebut.
7. Pendapat yang menyatakan tidak dianjurkannya puasa enam hari di bulan Syawal setelah melaksanakan puasa Ramadhan.

Termasuk juga dalam hal di atas adalah membolehkan ucapan selamat natal pada non muslim karena sudah ada ijma’ (kata sepakat) ulama dalam hal ini.

Masalah yang masih masuk ranah ijtihad yang boleh kita toleran dalam masalah ini seperti:
1. Perselisihan mengenai apakah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melihat Allah di dunia.
2. Perselisihan apakah si mayit bisa mendengar pembicaraan orang yang masih hidup ataukah tidak.
3. Batalnya wudhu karena menyentuh kemaluan, menyentuh wanita atau sebab makan daging unta.
4. Qunut shubuh yang dibacakan setiap harinya.
5. Qunut witir apakah dibaca sebelum ruku’ atau sesudahnya.

Jadi jelaslah kapan kita boleh tolerir ketika beda pendapat, kapan kita boleh mengingkari. Semoga jadi nasehat bermanfaat bagi sesama muslim.
Hanya Allah yang memberi taufik dan hidayah pada kebenaran.

Selesai disusun menjelang Ashar di Pesantren Darush Sholihin, Panggang, Gunungkidul, 23 Safar 1435 H
Oleh akhukum fillah: Muhammad Abduh Tuasikal
Artikel Rumaysho.Com
Ikuti status kami dengan memfollow FB Muhammad Abduh Tuasikal, Fans Page Mengenal Ajaran Islam Lebih Dekat, Twitter @RumayshoCom